Kualitas Udara Tangsel Terburuk di Indonesia Pagi Ini, Lebih Parah dari Jakarta
Tangerang Selatan menjadi kota dengan kualitas udara terburuk di Indonesia pada Kamis pagi (15/8). Berdasarkan data yang dihimpun situs pemantau kualitas udara IQAir pada pukul 09.37 WIB, Indeks Kualitas Udara (AQI) Tangerang Selatan melewati Jakarta dengan Indeks AQI poin mencapai 198 atau masuk kategori tidak sehat.
Adapun indeks AQI poin Jakarta berada di level 169 atau dalam kategori tidak sehat. Selain Tangerang Selatan dan Jakarta terdapat kota lainya yang memiliki udara dengan kategori tidak sehat yaitu Medan dan Palembang dengan Indeks AQI poin masing-masing 156 dan 154.
Kategori tersebut menunjukkan bahwa kualitas udara di wilayah itu tidak sehat bagi manusia untuk beraktivitas di luar ruangan.
Selain itu, terdapat beberapa kota di Indonesia yang masuk dalam kategori sedang yaitu, Bogor, Bandung, Jambi, Pekanbaru, dan Palangkaraya. Kategori sedang menunjukkan kualitas udara yang tidak berpengaruh pada kesehatan manusia ataupun hewan secara umum tetapi berpengaruh pada tumbuhan yang sensitif dan nilai estetika dengan rentang PM2,5 sebesar 51-100.
IQ AIR pun mencatat kota besar dunia kualitas udara terburuk di dunia ditempati oleh Kinshasa di Kongo, di susul Jakarta pada posisi kedua dan Lahore di Pakistan pada posisi ketiga.
Jakarta Butuh 71 Titik Stasiun Pemantai Kualitas Udara
Provinsi DKI Jakarta mengaku saat ini memerlukan 71 titik Stasiun Pemantau Kualitas Udara (SPKU) agar intervensi kebijakan dapat diambil dengan tepat terkait kualitas udara, baik sektor kesehatan, pendidikan, maupun transportasi.
"Saat ini baru terealisasi 31 titik," kata Kepala Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta Asep Kuswanto di Jakarta, Selasa.
Ia menjelaskan, kebutuhan data yang akurat terkait SPKU juga dibutuhkan dari sektor kesehatan, pendidikan dan transportasi. Menurut dia, 31 titik SPKU yang tersebar di wilayah DKI itu masih sangat kurang untuk memantau kualitas udara di Jakarta.
Dari hasil kajian yang ada, menurut dia, kebutuhan SPKU di DKI mencapai 71 unit atau sekitar empat SPKU per kecamatan.
"Kami memang sudah mengkaji kebutuhan SPKU dan jumlah 71 unit ini merupakan kajian," katanya.
Dengan adanya SPKU ini, menurut dia, banyak intervensi kebijakan yang dapat diambil dengan tepat terkait kualitas udara, baik sektor kesehatan, pendidikan, maupun transportasi.
Ia mencontohkan kebijakan pada sektor kesehatan. Dengan adanya akurasi data terkait kualitas udara di suatu daerah, menurut dia, petugas atau dinas kesehatan dapat mengintervensi melalui persiapan obat-obatan terutama yang berhubungan dengan penyakit infeksi saluran pernapasan atas (ISPA).
Ini juga berlaku pada kebijakan di sektor transportasi. Menurut dia, maka petugas Dinas Perhubungan dapat memberlakukan sejumlah rekayasa dalam mengurangi jumlah kendaraan ketika di suatu lokasi kualitas udara memburuk.
"Akurasi data terkait kualitas udara untuk dinas kesehatan nanti bisa menentukan intervensi terhadap kondisi penyakit yang diderita. Ini bisa merujuk dari data yang dihasilkan oleh SPKU," katanya