Instrumen investasi berisiko seperti saham Amerika Serikat (AS) dan aset kripto mencatatkan kinerja positif pada awal pekan ini setelah sebelumnya sempat stagnan pekan lalu.
Analis Reku, Fahmi Almuttaqin mengatakan tren positif di pasar kripto pada awal pekan ini karena mulai meredanya kekhawatiran investor terkait inflasi AS. Hal itu terutama setelah data inflasi yang dirilis menunjukkan kenaikan 0,1% di atas perkiraan.
Selain itu, kenaikan klaim tunjangan pengangguran mingguan juga membuat investor lebih berhati-hati menjelang pertemuan The Fed yang akan berlangsung pada 6-7 November mendatang.
“Yang turut memberikan tekanan pada harga Bitcoin dan pasar kripto secara umum pekan lalu,” ujar Fahmi dalam risetnya, Rabu (16/10).
Berdasarkan data CoinMarketCap (16/10), harga Bitcoin melonjak lebih dari 14% dalam sebulan terakhir dan naik 7,49% dalam tujuh hari terakhir hingga mencapai level US$ 67.000 atau sekitar Rp 1,04 triliun.
Tak hanya itu, kenaikan ini juga diikuti oleh aset kripto lainnya, seperti Ethereum yang naik 7% dalam seminggu terakhir menjadi US$ 2.615 dan Solana yang meningkat 7,57% ke level US$ 154.
Selain itu, pada Senin (14/10), ETF Bitcoin Spot mencatat aliran dana masuk bersih lebih dari US$ 550 juta) hingga net inflow harian tertinggi selama paruh kedua 2024.
Pergerakan positif ini didorong oleh data Producer Price Index (PPI) bulan September yang tidak menunjukkan kenaikan. Dengan demikian hal tersebut menandai stabilnya prospek inflasi setelah sebelumnya naik 0,2% pada Agustus.
Namun, Fahmi menjelaskan, meskipun kekhawatiran investor mulai mereda, belum ada sentimen positif jangka pendek yang cukup kuat, baik dari faktor internal pasar kripto maupun faktor eksternal.
Ia mengatakan fluktuasi harga masih mungkin terjadi. Data inflasi Harga Belanja Personal (PCE) yang akan dirilis pada 31 Oktober mendatang akan menjadi faktor penting yang dapat memengaruhi sentimen pasar.
“Mengingatdata inflasi menjadi acuan The Fed,” kata Fahmi.
Ia menyebut apabila inflasi PCE bulanan pada September naik sesuai ekspektasi sebesar 0,2%, ada kemungkinan The Fed akan menurunkan suku bunga sebesar 25 basis poin.
Jika skenario ini terjadi, menurutnya, hal tersebut bisa membantu mempertahankan momentum positif yang mulai terbentuk di pasar. Namun, apabila inflasi PCE naik sebesar 0,3% secara bulanan, kemungkinan The Fed untuk mempertahankan suku bunga di level saat ini menjadi lebih besar.
“Skenario terbaik bagi Bitcoin dan aset kripto lainnya jika inflasi PCE naik lebih baik dari ekspektasi, seperti sebesar 0,1%, dan The Fed menurunkan suku bunga 50 basis poin,” lanjut Fahmi.
Prospek Jelang Pemilu AS
Selain kebijakan ekonomi yang lebih longgar, Pemilu AS juga berpotensi menjadi katalis positif yang dapat mendorong kinerja Bitcoin dan saham. Fahmi menjelaskan bahwa secara historis, pasar saham AS cenderung melonjak setelah pemilihan presiden.
Contohnya, setelah terpilihnya Presiden Joe Biden pada November 2020, saham AS mengalami lonjakan sebesar 12,74%. “Kemudian pada pemilihan Presiden Donald Trump pada tahun 2016, Saham AS melesat 6,01% dan naik 2,48% pada pemilihan presiden Barack Obama pada November 2012,” katanya.
Selain itu, ia juga menyebut bahwa secara historis, pasar kripto, termasuk Bitcoin, cenderung menunjukkan tren positif dengan reli yang cukup kuat setelah pemilihan presiden AS.
Setelah pemilihan presiden pada 3 November 2020, harga Bitcoin melonjak dari US$ 13 ribu hingga hampir US$ 30 ribu pada akhir Desember 2020. Harga melanjutkan reli hingga mendekati US$70 ribu pada 2021.
Fahmi mengatakan situasi saat ini tidak terlalu berbeda untuk Bitcoin dan pasar kripto secara umum. Dengan demikian, Fahmi menyarankan dalam memilih saham AS, investor sebaiknya memperhatikan fundamental perusahaan, seperti kapitalisasi pasar.
“Serta kinerja keuangan, valuasi, naratif yang berkembang di kalangan investor, dan lain sebagainya," katanya.