Menteri Koordinator Bidang Hukum, HAM, Imigrasi dan Pemasyarakatan Yusril Ihza Mahendra menyatakan tidak ada kasus pelanggaran HAM berat di Indonesia dalam beberapa dekade terakhir.
Yusril mengatakan kriteria pelanggaran HAM berat merujuk pada genosida dan tindakan pembersihan etnik seperti pembunuhan massal atau pengusiran paksa.
Eks Ketua Umum Partai Bulan Bintang (PBB) itu menganggap, kejadian pelanggaran HAM berat di Indonesia terjadi pada masa kolonial dan waktu awal kemerdekaan pada 1960-an.
“Tapi dalam beberapa dekade terakhir ini, hampir bisa dikatakan tidak ada kasus-kasus pelanggaran HAM berat,” kata Yusril di Istana Merdeka Jakarta pada Senin (21/10).
Dia juga mengatakan bahwa tragedi Kerusuhan Mei 1998 tidak termasuk dalam pelanggaran HAM berat. "Enggak," ujarnya.
Pernyataan itu merujuk saat Yusril menjalani sidang Komisi HAM oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) di Jenewa ketika masih menjabat sebagai Menteri Kehakiman dan HAM saat era Presiden Abdurrahman Wahid pada 1999-2001.
“Jadi sebenarnya kita tidak menghadapi persoalan pelanggaran HAM yang berat dalam beberapa tahun terakhir,” ujar Yusril.
Dari 12 kasus dugaan pelanggaran HAM berat yang diusut pemerintah, baru kasus di Paniai, Papua, yang telah naik ke tahap penyidikan di Kejaksaan Agung. Sementara sisa 11 kasus lainnya belum mendapatkan kejelasan hukum.
Beberapa kasus tersebut di antaranya dugaan Pembunuhan Massal 1965, Kasus Penembakan Misterius (Petrus) selama periode 1981-1983, Kasus Talangsari, Lampung, 1989, Penghilangan Orang Secara Paksa selama periode 1997-1998, serta Peristiwa Trisaksi, Semanggi I, dan Semanggi II pada 1999.
Kemudian, kasus Rumah Geudong Aceh 1998 yang terjadi selama masa konflik di Aceh. Kemudian Kasus Kerusuhan Mei 1998, Peristiwa Pembunuhan Dukun Santet selama periode 1998-1999.
Kasus lainnya adalah kekerasan aparat TNI pada Peristiwa Simpang PT Kertas Kraft Aceh (KKA) pada 3 Mei 1999 di Aceh Utara, Peristiwa Wasior dan Wamena pada 2001, Peristiwa Jambo Keupok Aceh pada 2003, serta Pembunuhan Munir.