Potensi Lahan Tumpang Tindih di RI Setara dengan Luas Jakarta, Jabar, dan Banten
Menteri Agraria dan Tata Ruang (ATR) Nusron Wahid menyampaikan ada 6,4 juta hektare (ha) lahan yang berpotensi mengalami masalah tumpang tindih. Meskipun lahan seluas 6,4 juta hektare tersebut sudah memiliki sertifikat, namun tidak tercantum dalam peta.
Dia menjelaskan, luasan 6,4 juta ha lahan yang tersebar di beberapa wilayah di Tanah Air itu dapat dikonversikan menjadi 13, 8 juta bidang setifikat. "Ada sertifikatnya, tapi enggak ada petanya. Nah ini memang potensi tumpang tindih," kata Nusron di Istana Merdeka Jakarta, pada Kamis (31/10).
Lahan 6,4 juta ha ini melebihi luas gabungan wilayah Provinsi Banten, DKI Jakarta dan Jawa Barat (Jabar) yang hanya seluas 6,04 juta ha. Secara rinci, wilayah Banten seluas 966.292 ha, DKI Jakarta 66.152 ha dan Jabar 5.016.005 ha.
Guna mengatasi potensi tumpah tindih jutaan hektare lahan tersebut, Nurson telah menjalin komunikasi ke berbagai lembaga penegak hukum, seperti Kejaksaan Agung dan Kepolisian. Politisi Partai Golkar ini menyebutkan, jutaan ha lahan tumpang tindih itu timbul karena maraknya praktik sengketa tanah dan konflik pertanahan yang dimainkan oleh mafia tanah.
Nurson pun meminta kepada aparat penegak hukum untuk mengenakan pasal berlapis kepada mafia tanah yang tertangkap, melalui jenis kejahatan tindak pindana umum, tindak pidana korupsi hingga tindak pidana pencucian uang atau TPPU.
"Kalau soal mafia tanah saya minta supaya dikenakan pasal berlapis untuk efek jera," ujar Nusron.
Potensi Rugi Rp 3,41 Triliun
Menteri ATR Sebelumya, Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) merilis kasus mafia tanah besar di Jawa Tengah. AHY mengatakan potensi kerugian negara dari kasus tersebut mencapai Rp 3,41 triliun.
AHY mengatakan kasus yang berlokasi di Kabupaten Grobogan itu dilakukan tersangka DB (66). Kasusnya adalah jual beli yang tak sah serta melanggar hukum.
"Ini kasus terbesar yang kami ungkap dari kasus-kasus yang lain," kata AHY di Mapolda Jawa Tengah, Semarang, Senin (15/7) dikutip dari Antara.
Ia mengatakan lahan seluas 82,6 hektare itu dikembangkan sebagai kawasan industri. Sedangkan modus operandi pelaku: pemalsuan akta otentik tentang pengalihan kepemilikan hak tanpa persetujuan pemilik yang sah.
"Sehingga seolah-olah mengakibatkan hilangnya hak pemilik yang sah, dengan bantuan notaris," kata AHY.