Asal Usul Kebijakan Impor Gula yang Seret Tom Lembong hingga Berujung Tersangka

Arief Kamaludin|KATADATA
Menteri Perdagangan, Tom Lembong
Penulis: Ira Guslina Sufa
1/11/2024, 18.27 WIB

Penetapan Thomas Trikasih Lembong atau dikenal Tom Lembong sebagai tersangka dugaan korupsi impor gula menjadi sorotan. Tom ditetapkan sebagai tersangka oleh Kejaksaan Agung dalam kapasitasnya sebagai Menteri Perdagangan 2015-2016. 

Setelah penetapan tersangka, sebagian pihak menilai keputusan itu bernuansa politis lantaran dianggap tebang pilih. Ketua Umum Partai Nasional Demokrat (NasDem) Surya Paloh bahkan mengaku terkejut dengan perkara yang kini menjerat Tom. Pada pemilihan presiden 2024, Paloh dan Tom Lembong berada dalam satu kubu yang sama mendukung Anies Baswedan sebagai calon presiden. 

Menurut Paloh, penetapan Tom sebagai tersangka memprihatinkan lantaran kurun waktu perkara yang ia nilai sudah terlalu jauh. Ia merasa dibanding mengusut kasus yang sudah lama berlalu masih ada kasus-kasus hukum besar yang tengah bergulir dan menyita perhatian publik.

Paloh mencontohkan adanya penyitaan uang hampir Rp 1 triliun di rumah mantan pejabat Mahkamah Agung pada Jumat (25/10) lalu seharusnya bisa menjadi perhatian lebih penegak hukum karena bersifat aktual. Adapula penangkapan hingga 3 orang hakim yang diduga main perkara dalam kasus kasasi yang ditangani MA. 

“Tapi gak ada angin gak ada hujan tiba-tiba ada Tom Lembong, (dianggap) kebijakannya salah 10 tahun yang lalu. Kita juga terkejut,” ujar Paloh usai bertemu dengan Prabowo Subianto di istana negara, Jumat (1/11). Kedatangan Paloh ke istana merupakan bagian dari pertemuan rutin Prabowo dengan para petinggi partai politik pendukung pemerintah. 

Lebih jauh Paloh menilai upaya penegakan hukum seharusnya berjalan dalam rangka membangun kepercayaan publik. Ia khawatir penegakan hukum atas kasus yang sudah lama berlalu justru memunculkan pesimistis di tengah masyarakat. 

Selain persoalan waktu, penetapan Tom sebagai tersangka juga disorot lantaran delik yang dinilai tidak jelas. Pakar hukum pidana dari Universitas Trisakti Abdul Fickar Hadjar menilai Tom tak bisa dipidana hanya berdasarkan dugaan kesalahan dalam pengambilan kebijakan. 

Menurut Fickar seorang pengambil kebijakan dimungkinkan mengambil sikap yang berisiko berkaitan dengan jabatannya. Karena itu, ia menilai penetapan Tom sebagai tersangka bisa menjadi preseden dan membuat orang tak berani untuk menjadi pejabat publik. 

Fickar mengatakan, kebijakan sejatinya tak bisa dipidanakan karena dibuat pejabat publik dengan dasar wewenang yang dipegangnya. "Kecuali kalau bisa dibuktikan pejabat publik itu mendapatkan sesuatu materi yang bernilai ekonomis, ini namanya penyalahgunaan jabatan, gratifikasi, dan sebagainya," kata Fickar kepada Katadata.co.id  seperti dikutip Jumat (1/11). 

Kejagung Tetapkan Tom Lembong Sebagai Tersangka Kasus Impor Gula (Fauza Syahputra|Katadata)

Tak Penuhi Prosedur 

Dalam perkara importasi gula yang tengah diusut Kejaksaan, Tom ditetapkan sebagai tersangka atas kebijakan dalam memberikan izin impor gula. Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus, Abdul Qohar mengungkapkan Kejagung menemukan perbuatan melawan hukum lantaran kebijakan impor gula tak dilakukan Tom dengan memenuhi ketentuan. 

Qohar menjelaskan, berdasarkan rapat koordinasi antar kementerian yang dilaksanakanpada 15 Mei 2015 silam telah disimpulkan bahwa Indonesia mengalami surplus gula sehingga tidak perlu melakukan impor. Tetapi, pada tahun yang sama Tom Lembong selaku Menteri Perdagangan memberikan izin persetujuan impor gula kristal mentah (GKM) sebanyak 105 ribu ton kepada PT Angels Products (AP) yang kemudian diolah menjadi gula kristal putih (GKP).  

Lebih jauh Qohar menyebut Tom juga mengambil kebijakan dengan mengabaikan  Peraturan Menteri Perdagangan dan Perindustrian Nomor 57 Tahun 2004 yang menyatakan bahwa pihak yang diizinkan mengimpor gula kritasl putih hanyalah perusahaan badan usaha milik negara (BUMN).

“Saudara TTL memberikan izin persetujuan impor gula kristal mentah sebanyak 105.000 ton kepada PT. AP yang kemudian gula kristal mentah tersebut diolah menjadi gula kristal putih,” ucap Qohar. 

Dalam perkara ini, Kejagung juga menetapkan Charles Sitorus  selaku Direktur Pengembangan Bisnis PT Perusahaan Perdagangan Indonesia (PPI) sebagai tersangka. Charles disebut  memerintahkan bawahannya untuk melakukan pertemuan dengan delapan perusahaan swasta yang bergerak di bidang gula, salah satunya adalah PT Angels Products.

Delapan perusahaan itu mengelola gula kristal mentah menjadi gula kristal putih, padahal perusahaan itu hanya memiliki izin pengelolaan gula rafinasi. Setelah itu, Kejaksaan menduga  Perusahaan Perdagangan Indonesia seolah-olah membeli gula tersebut, padahal gula itu dijual oleh delapan perusahaan tersebut kepada masyarakat melalui distributor yang terafiliasi dengan harga Rp16.000 per kilogram. 

Harga yang dilepas ke pasar  di atas harga eceran tertinggi (HET) saat itu, yaitu sebesar Rp 13.000 per kilogram dan tidak dilakukan operasi pasar. "Bahwa dari pengadaan dan penjualan gula kristal mentah yang telah menjadi gula kristal putih tersebut, PT PPI mendapatkan fee (upah) dari delapan perusahaan yang mengimpor dan mengelola gula tadi sebesar Rp 105 per kilogram," kata Qohar.

Dasar kesalahan dalam pengambilan kebijakan yang menjadi dalil Kejagung inilah yang menjadi perhatian Fickar. Dosen Universitas Trisakti ini menilai pemberian izin impor oleh Tom tak dapat menjadi dasar penetapan tersangka. 

Ia menilai adanya dugaan tidak berjalannya koordinasi dalam pengambilan keputusan itu bukan berada di ranah hukum pidana. Karena itu ia menyebut penetapan Tom Lembong sebagai tersangka sebagai bentuk kriminalisasi. “Jangan-jangan karena Tom pernah menjadi tim sukses dari salah satu calon dalam kontestasi presiden. Jika ingin dipersoalkan mengapa baru sekarang, mengapa tidak 8 tahun yang lalu?" kata dia.

Lebih jauh ia mengatakan, kriminalisasi juga ditunjukkan dengan tak diperlakukan tindakan yang sama pada Menteri Perdagangan sebelumnya dengan kebijakan yang sama. Padahal menurut Fickar, kebijakan yang diambil Tom Lembong saat menjadi Mendag tak jauh berbeda dengan mendag lainnya. 

"Kalau Tom bisa disebut korupsi karena merugikan negara ketika membolehkan perusahaan swasta yang impor gula dan bukan BUMN harus dilihat lagi kerugiannya apa? itu tafsir Kejaksaan belum ada buktinya," kata Fickar.

Dilema Kebijakan Impor Gula 

PERAJIN GULA TEBU TRADISIONAL DI ACEH TENGAH (ANTARA FOTO/Ampelsa/wsj.)

Persoalan izin impor gula oleh Kemendag dalam kurun waktu 10 tahun terakhir memang sering menuai polemik. Di satu sisi terdapat pembatasan dalam kebijakan impor untuk melindungi petani tebu lokal, namun di sisi lain kebutuhan gula terus bertambah. 

Merujuk data Kementerian Pertanian, pemerintah selalu terkendala dalam memenuhi kebutuhan gula nasional yang selalu di atas angka produksi nasional.  Pada 2012 jumlah produksi gula mencapai 2.662.127 dan jumlah konsumsi sebesar 2.613.272 ton. Namun komposisi ini berubah pada 2013 saat produksi gula nasional tidak mampu mencukupi kebutuhan dalam negeri. 

TahunProduksi Gula Kebutuhan Gula Konsumsi
20132.551.024 ton2.642.125 ton
20142.579.173 ton2.841.897 ton.
20152,497 juta ton3,2 juta ton

Untuk memenuhi kebutuhan gula, salah satu cara yang ditempuh pemerintah saat itu adalah mendatangkan gula impor. Tingginya kebutuhan dibanding produksi ini pula yang membuat Saleh Husin yang menjabat Menteri Perindustrian saat itu mengatakan dimungkinkan untuk dilakukannya pelonggaran impor. Itu pun baru dihitung dari kebutuhan gula konsumsi masyarakat di luar kebutuhan gula industri. 

Rendahnya kemampuan produksi gula lokal ini dibenarkan oleh Pengamat dari Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI) Khudori. Ia menyebut ketergantungan Indonesia pada gula impor sudah menjadi masalah akut. “Kita nett importer itu sudah puluhan tahun, sepertinya sudah lebih setengah abad,” ujar Khudori kepada Katadata.co.id, Jumat (1/11). 

Menurut Khudori pada periode 2015-2016 impor gula memang dibutuhkan. Saat itu stok gula pada awal 2016 hanya 816.000 ton. Angka tersebut setara dengan kebutuhan gula nasional selama 3,42 bulan atau habis sebelum Mei 2016. Pada saat yang sama, tidak ada kegiatan produksi gula di dalam negeri, 

Situasi inilah yang menurut Khudori bisa jadi membuat Tom memutuskan untuk mengimpor 105.000 ton gula krital mentah yang rencananya diubah menjadi Gula Kristal Putih (GKP). Akan tetapi, Khudori menyampaikan tidak ada pabrik gula yang dapat mengolah seluruh GKM tersebut dengan cepat. Sebab, tidak ada pabrik penggilingan tebu yang beroperasi hingga awal Juni. Sementara PT Perusahaan Perdagangan Indonesia (PPI) yang ditunjuk Tom saat itu bukan BUMN penggilingan tebu. 

"Dugaan saya, Tom Lembong disalahkan karena menunjuk PPI yang bukan BUMN produsen gula. Saya menduga langkah itu ditempuh Tom Lembong karena tidak ada pabrik gula BUMN yang dalam proses giling," ujarnya. 

Menurut Khudori dalam situasi seperti itu, Tom seharusnya langsung mengimpor Gula Krital Putih dari luar negeri pada 2016. Alasannya, minimnya pasokan gula di pasar membuat harga gula yang dinikmati konsumen tinggi dan memuncak hingga Rp 16.266 per kilogram pada Juli 2016. Padahal saat itu, harga eceran tertinggi GKP  adalah Rp 13.000 per kg. 

Khudori menilai minimnya pasokan gula setiap awal tahun memberikan keuntungan yang menggiurkan bagi pihak yang terlibat impor dan produksi gula. Ia menduga kasus tersebut tidak eksklusif terjadi pada kepemimpinan Tom Lembong di Kementerian Perdagangan.

"Oleh karena itu, sebaiknya Kejaksaan Agung memeriksa semua kasus yang pernah ada, bukan hanya kasus Tom Lembong," katanya. 

Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung Harli Siregar mengatakan akan terus menelusuri dugaan korupsi impor gula. Namun menurut dia, dalam kasus Tom Lembong pemeriksaan hanya sebatas pada statusnya sebagai regulator dalam masa jabatannya. 

"Kan sudah jelas kemarin tempusnya itu 2015-2016," kata Harli. Meski begitu ia mengatakan pemeriksaan masih akan bergulir dan bisa saja akan melibatkan pihak lain. 

Sementara itu Pengacara Tom Lembong Ari Yusuf Amir menilai penahanan Tom Lembong oleh kejaksaan sebenarnya tidak diperlukan lantaran selama ini kliennya kooperatif.  Tom juga dinilai tidak pernah melakukan upaya yang menyulitkan penyidikan oleh kejaksaan selama tiga kali pemeriksaan sebagai saksi sebelumnya akhirnya ditetapkan sebagai tersangka. “Inilah yang menurut kami, tindakan yang berlebihan,” ujar Ari kepada Katadata.co.id. 

Ia mengatakan tim pengacara akan terus memastikan Tom mendapatkan keadilan dalam pengungkapan perkara yang menjeratnya. Menurut Ari sejauh ini kejaksaan belum memiliki alat bukti yang cukup kuat sehingga menetapkan Tom sebagai tersangka. 

"Kalau mereka melihat ada potensi kasus hukum, ada kerugian negara, ada penyalahgunaan wewenang itu haknya mereka untuk melakukan proses penyidikan,” ujar Ari. 

Di sisi lain ia mengatakan tim pengacara menghormati proses hukum yang sedang berlangsung.  Meskipun demikian ia berharap penyidik memiliki bukti yang kuat dan tidak hanya berdasarkan pada pertimbangan adanya kerugian negara dari kasus ini. 

Adapun Abdul Qohar mengatakan Kejaksaan tak memerlukan adanya bukti aliran uang kepada Tom Lembong untuk menjerat sebagai tersangka. "Penetapan tersangka dalam tindak pidana korupsi ini, sesuai Pasal 2 dan Pasal 3, tidak mensyaratkan seseorang harus menerima uang," kata Qohar di Kejaksaan Agung, Kamis (31/10).

Ia mengatakan, unsur pidana sudah terpenuhi saat perbuatan melawan hukum atau penyalahgunaan kewenangan dilakukan untuk menguntungkan pihak lain. Lebih jauh Qohar mangatakan saat ini penyidik tengah mendalami aliran dana ke Tom Lembong meskipun, aliran dana bukan menjadi satu-satunya indikator penetapan tersangka.

"Fokus kami adalah mengungkap seluruh aspek yang relevan sesuai unsur-unsur dalam pasal korupsi," kata dia.

Reporter: Amelia Yesidora, Andi M. Arief, Ade Rosman