Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan berpotensi mengalami gagal bayar pada Juni 2026 apabila tidak ada kenaikan tarif iuran. Proyeksi ini mengacu pada kondisi keuangan BPJS Kesehatan yang selama dua tahun terakhir mengalami defisit.
Pada 2023, BPJS Kesehatan mendapat pemasukan iuran sejumlah Rp 149,61 triliun dengan kewajiban jaminan kesehatan kepada rumah sakit dan klinik mencapai Rp 158,85 triliun.
Situasi selisih negatif ini juga terjadi pada 2024. Hingga Oktober, penerimaan iuran BPJS Kesehatan hanya berada di angka Rp 133,45 triliun dengan pengeluaran pembayaran klaim jaminan kesehatan sebesar Rp 146,28. Ini artinya beban terhadap pendapatan mencapai 109,62%.
Guna menutup selisih beban dalam dua tahun belakangan, BPJS Kesehatan menggunakan talangan dari aset netto atau nilai total aset yang dimiliki setelah dikurangi dengan kewajiban atau utang yang harus dibayar.
Melansir dokumen paparan Direktur Perencanaan dan Pengembangan BPJS Kesehatan, Mahlil Ruby, bertajuk ‘Strategi Menjaga Keberlanjutan Program Jaminan Kesehatan Nasional’ yang dipublikasikan pada 11 November, Aset netto BPJS Kesehatan mayoritas diperoleh dari situasi surplus penerimaan uiran pada tahun 2020, 2021, dan 2022. Dalam tiga tahun tersebut, BPJS Kesehatan memperoleh pendapatan lebih Rp 117.47 triliun.
Kondisi tersebut dipengaruhi oleh Pandemi Covid-19. Pada situasi pageblug saat itu, pemerintah merilis kebijakan seluruh biaya tanggungan pasien rumah sakit yang terindikasi Covid-19 dibayarkan oleh Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) melalui klaim dari Kementerian Kesehatan.
Keadaan tersebut membuat kewajiban klaim pasien rumah sakit terhadap BPJS Kesehatan cenderung menurun signifikan. Peran BPJS saat itu lebih kepada membantu Kementerian Kesehatan untuk melakukan verifikasi klaim yang dibayarkan.
Pada 2020, penerimaan iuran BPJS Kesehatan berada di level Rp 133,94 triliun dengan beban jaminan kesehatan yang hanya berada di angka Rp 95,51 triliun. Setahun kemudian, penerimaan iuran BPJS Kesehatan naik ke Rp 139,55 triliun dengan kewajiban biaya layanan medis ke rumah sakit dan klinik Rp 90,33 triliun.
Kondisi selisih positif juga terjadi pada 2022, dengan penerimaan iuran Rp 143,29 triliun dan kewajiban pembayaran klaim sejumlah Rp 113,47 triliun. Dengan situasi defisit dalam dua tahun belakangan, aset netto yang diperoleh akan berada di titik negatif pada November 2025 dan gagal bayar terjadi pada Juni 2026.
Jumlah Klaim Meroket
Direktur Utama BPJS Kesehatan, Ali Ghufron Mukti, mengatakan telah terjadi kenaikan klaim kasus atau utilitas harian hingga 1,7 juta per hari saat ini. Jumlah itu meroket signifikan dibandingkan dengan 252 ribu utilisasi pelayanan kesehatan rumah sakit dan klinik per hari saat awal pemberlakukan jaminan kesehatan nasional (JKN) pada 2014.
Adapun tahun 2024, BPJS Kesehatan menyiapkan dana Rp 176 triliun untuk biaya jaminan layanan kesehatan dengan proyeksi pemasukan iuran sekira Rp 160 triliun.
Ghufron mengatakan kekuatan aset netto BPJS Kesehatan masih mampu untuk membayar seluruh tagihan rumah sakit dan klinik hingga akhir tahun 2025, ditengah kondisi defisit antara iuran wajib dan biaya layanan medis saat ini.
“Namun agak berat di tahun 2026 kalau tidak ada skenario kebijakan tertentu. BPJS tidak ingin defisit,” kata Ghufron saat ditemui seusai rapat dengar pendapat (RDP) dengan Komisi IX DPR di Gedung Nusantara I Senayan, Jakarta pada Rabu (13/11).
Selain melalui uiran wajib perserta, pemasukan BPJS Kesehatan juga berasal dari investasi lembaga ke sejumlah deposito bank. Meski begitu, imbal hasil bunga tabungan dianggap tidak mampu untuk menjadi pembiayaan alternatif biaya layanan rumah sakit di tengah situasi defisit pemasukan saat ini.
“Simpan di deposito itu maksimal hanya tumbuh 7%, sulit untuk lebih dari itu,” ujar Ghufron.
Pada kesempatan tersebut, Ghufron juga menepis anggapan adanya tunggakan iuran sebagai salah satu penyebab keuangan BPJS Kesehatan mengalami defisit. Data BPJS Kesehatan per 31 Desember 2023 mencatat ada 53,7 juta peserta program JKN dengan status tidak aktif.
Dari jumlah itu, sebanyak 38,5 juta peserta nonaktif tanpa tunggakan dan 15,2 juta peserta nonaktif dengan tunggakan. “Yang menunggak itu tidak terlalu signifikan, karena itu mayoritas masyarakat tidak mampu,” kata Ghufron.
Potensi Kenaikan Iuran BPJS
Anggota Komisi IX DPR, Edy Wuryanto, berpendapat kenaikan iuran BPJS Kesehatan merupakan sebuah keniscayaan. Pernyataan itu mengacu pada situasi potensi defisit keuangan BPJS pada Agustus 2025 jika tidak ada intervensi apapun.
Saat ini, peserta BPJS Kesehatan mencapai 98% penduduk Indonesia. Selain itu, inflasi kesehatan terus naik. Tercatat pada 2023 inflasi medis mencapai 13,6%. Edy menyatakan bahwa masalah fundamental soal peluang defisit pada BPJS Kesehatan adalah soal iuran.
“Terakhir, kenaikan iuran dilakukan pada 2020. Maka seiring dengan pertambahan peserta, kunjungan ke fasilitas kesehatan juga meningkat, sehingga tidak heran jika beban BPJS Kesehatan juga besar,” kata Edy dalam siaran pers pada Rabu (13/11).
Dia mengatakan, penyesuaian iuran BPJS dapat terjadi karena peninjauan besaran iuran dapat berlangsung sekali dalam dua tahun, sebagaimana diatur dalam Pasal 38 ayat 1 Perpres Nomor 64 Tahun 2020 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan “Secara yuridis memang harus ada kenaikan iuran,” kata Edy.
Alasan lain untuk menaikan iuran adalah kenaikan INA CBGs, kapitasi, dan skrining kesehatan sesuai Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 3 tahun 2023. INA CBGs merupakan paket tarif yang dibayarkan BPJS Kesehatan yang dibayarkan ke rumah sakit.
Sementara kapitasi adalah biaya layanan medis yang dibayarkan BPJS Kesehatan ke fasilitas kesehatan tingkat pertama, seperti Puskesmas dan klinik. “Dengan tiga komponen ini, pembiayaan JKN semakin meningkat,” ujar Edy.