Komisi II DPR Bakal Bentuk Omnibus Law Undang-Undang Politik, Hapus UU Pilkada

ANTARA FOTO/Galih Pradipta/foc.
Wakil Menteri Dalam Negeri Bima Arya Sugiarto (tengah) saat mengikuti Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Komisi II DPR di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (11/11/2024).
Penulis: Ira Guslina Sufa
21/11/2024, 09.39 WIB

Ketua Komisi II Dewan Perwakilan Rakyat Muhammad Rifqinizamy Karsayuda mengungkapkan rencana membentuk Undang-Undang Politik dengan menggunakan metode Omnibus Law. Dia menuturkan bahwa nantinya undang-undang tersebut terdiri dari peraturan perundangan terkait partai politik hingga kepemiluan.

Menurut Rifqinizamy, penyusunan undang-undang tersebut dimaksudkan untuk memberikan kepastian hukum dalam menjalankan demokrasi di Tanah Air. Omnibus Law nantinya akan terdiri dari Undang-Undang Pemilu, Undang-Undang Partai Politik, Undang-Undang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota atau Undang-Undang Pilkada. 

“Juga memuat ketentuan terkait sengketa pemilihan umum yang sekarang terserak dan belum ada Kitab Undang-Undang Hukum Acara-nya," ujar Rifqinizamy seperti dikutip Kamis (21/11). 

Ia mengatakan bahwa Komisi II bakal memakai metode pengusulan undang-undang secara bertahap, sebagaimana yang telah disepakati dengan pimpinan Badan Legislasi (Baleg) DPR. Namun, sebelum mulai membahas omnibus law UU politik, DPR akan terlebih dulu membahas revisi Undang-Undang ASN (Aparatur Sipil Negara). 

“Karena ini soal bicara netralitas macam-macam. Kita selesaikan itu. Itu selesai, mudah-mudahan masa sidang depan selesai satu (undang-undang), masa sidang berikutnya masuk pada pembahasan Omnibus Law," ujarnya.

Rifqinizamy berasumsi pembahasan Omnibus Law UU Politik tidak akan selesai dalam waktu singkat. Ia memprediksi butuh waktu paling tidak dua kali masa sidang untuk sampai pada tahap pengesahan. 

Adapun Wakil Ketua Komisi II Zulfikar Arse Sadikin menuturkan komisinya berencana untuk membentuk aturan perundangan yang menggabungkan undang-undang kepemiluan dengan undang-undang pilkada. Ia menyebutkan sesuai keputusan Mahkamah Konstitusi kini tak ada lagi terminologi istilah rezim pemilu dan rezim pilkada.

Sebelumnya MK memutuskan ketentuan berkaitan dengan pemilu dan pilkada menjadi satu dengan rezim pemilu. “Kami terpikir di Komisi II itu untuk membuat undang-undang pemilu dengan memasukkan undang-undang pilkada di dalamnya sehingga satu saja undang-undang pemilu," kata Zulfikar.

Reporter: Ade Rosman