Ekonom Sebut Pencucian Uang Terbesar di Dunia Terjadi saat Pemilu di Indonesia
Ekonom Universitas Paramadina, Wijayanto Samirin, menyoroti peredaran uang gelap selama pemilihan umum di Indonesia. Baik Pemilihan Presiden atau Pilpres dan Pemilihan Legislatif atau Pileg dianggap sebagai contoh praktik pencucian uang atau money laundry terbesar di dunia.
"Pilpres dan Pileg di Indonesia ini bisa jadi merupakan contoh fenomena money laundry terbesar di dunia," kata Wijayanto dalam agenda Orasi Kebangsaan 'Perjalanan, Tantangan, dan Harapan Pemberantasan Korupsi di Indonesia', di Universitas Paramadina, Trinity Tower, Jakarta Selatan, Kamis (5/12).
Wijayanto menggambarkan saat Pemilu begitu banyak dana yang tak jelas asalnya berputar di masyarakat. Peredaran uang ini berdampak signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi.
"Kuartal I 2024 itu pertumbuhan ekonominya lebih tinggi daripada kuartal-kuartal lain, termasuk kuartal II, di mana di situ ada lebaran," kata dia.
Wijayanto memperkirakan sekitar Rp 140 triliun uang yang digelontorkan saat Pilpres. "Ada begitu banyak dana yang tidak jelas asalnya, makanya transfer tidak dilakukan tetapi cash, dari tangan ke tangan, diterima oleh masyarakat, dan dibelanjakan oleh masyarakat," katanya.
Ia mengatakan, dampak dari high cost demokrasi ini akan berimbas pada high cost ekonomi. "Kita senang digelontor dengan dana selama 1 bulan, tetapi selama lima tahun ekonomi kita akan sulit. Selama satu bulan injak gas, selama lima tahun ada rem," kata Wijayanto.
Masalah lainnya, kata Wijayanto, karena dibiayai oleh investor politik. Hal itu, pastilah memunculkan efek pada keinginan timbal balik dari para investor tersebut. Menurutnya, salah satu timbal balik yang diharapkan investor adalah kebijakan yang berpihak pada mereka.
"Makanya seringkali di era akhir-akhir ini banyak sekali kebijakan-kebijakan yang aneh. Tiba-tiba ada PSN, ada sektor tertentu yang dapat pajak 0 persen 20 tahun, padahal margin-nya tebal," kata Wijayanto.