Peneliti tamu di Stanford sekaligus pembawa acara Endgame Podcast, Gita Wirjawan menyoroti kurangnya orang yang ahli bercerita (storyteller) di Indonesia. Kendati demikian, ia meyakini bahwa masyarakat Indonesia sejatinya memiliki potensi menjadi storyteller.
Menurutnya, seseorang yang ingin bercerita harus ditopang oleh penguasaan literasi dan numerasi. Sayangnya, penguasaan literasi dan numerasi pelajar Indonesia masih tertinggal jauh dibandingkan rata-rata negara anggota Organisasi Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan (OECD).
“Di Indonesia itu penguasaan numerasi dan literasi masih ada keterbatasan, mohon maaf, relatifnya dibandingkan Singapura,” kata Gita dalam acara Meet The Leaders 6 di Universitas Paramadina, Jakarta pada Kamis (4/9).
Merujuk data Program for International Student Assessment (PISA) yang dirilis oleh OECD tahun 2022, skor rata-rata siswa Indonesia yang berusia 15 tahun tercatat 366 poin untuk matematika, 383 poin untuk sains dan 359 poin untuk membaca. Angka itu lebih rendah dibandingkan rata-rata skor OECD yang mencapai 472 poin untuk matematika, 485 poin untuk sains dan 476 poin untuk membaca.
Tidak hanya tertinggal dari rata-rata global, tren skor Indonesia juga mengalami penurunan dibandingkan hasil PISA 2018 di ketiga bidang utama.
Dari sisi kemampuan minimum, hanya 18% siswa Indonesia yang mampu mencapai Level 2 ke atas dalam matematika, jauh di bawah rata-rata OECD yang sebesar 69%. Pada aspek membaca, capaian siswa Indonesia sebesar 25%, sedangkan rata-rata OECD mencapai 74%. Adapun di bidang sains, 34% siswa Indonesia berada pada Level 2 atau lebih tinggi, sementara rata-rata OECD mencapai 76%.
Menurut Gita, memperkuat literasi dan numerasi menjadi langkah dasar untuk membentuk generasi muda yang mampu bercerita dengan baik.
“Untuk menciptakan storyteller itu tidak sulit. Kita hanya perlu mendidik anak-anak muda dengan numerasi dan literasi yang lebih baik,” ujarnya.
Ia menekankan bahwa pendidikan merupakan investasi utama yang harus dibenahi sejak jenjang taman kanak-kanak hingga perguruan tinggi. Setelah itu, menurutnya, Indonesia dan Asia Tenggara perlu memperluas ruang ekonomi, baik secara fiskal maupun moneter.
Namun, ia menyoroti keterbatasan fiskal di kawasan ini, mengingat rasio pajak terhadap PDB hanya berkisar 10–16%, jauh di bawah rata-rata OECD sebesar 33%.
“Dengan keterbatasan itu, cara satu-satunya adalah menarik modal dari luar (FDI). Nah, untuk itu kita harus menguasai numerasi dan literasi. Kita harus bisa berdongeng,” kata Gita.
Selain pendidikan dan ekonomi, Gita menilai kolaborasi antarnegara juga penting di tengah perubahan geopolitik global. Menurutnya, dunia kini bergerak ke arah multipolar yang lebih kental dengan kerja sama bilateral atau plurilateral, seperti Regional Comprehensive Economic Partnership (RCEP).
“Untuk berkolaborasi dengan lima atau 15 negara, kita tetap butuh storytelling,” ucapnya.
Lebih jauh, Gita menekankan pentingnya membatasi penggunaan gawai di kalangan anak muda. Ia menilai, konsumsi berlebih terhadap media sosial berdampak negatif pada kesehatan mental.
“Kalau bisa, batasi penggunaan HP. Saya pribadi membatasi tidak lebih dari dua jam sehari. Sisanya saya gunakan untuk membaca buku, jurnal, menulis atau berpikir,” katanya.
Ia menambahkan, budaya membaca perlu dibangun dengan dukungan guru, orang tua, maupun tokoh masyarakat.