Kementerian Pertanian akan mengalihkan program cetak sawah baru menjadi optimalisasi lahan rawa. Proses pergeseran perluasan lahan tanam itu dilakukan karena minimnya anggaran dan sejumkah kendala dalam proses verifikasi lahan.
Direktur Jenderal Sarana dan Prasarana, Kementerian Pertanian, Pending Dadih Permana, mengatakan saat ini masih banyak masyarakat miskin yang memiliki lahan rawa. "Sementara cetak sawah itu daerahnya harus clean and clear, tetapi Area Penggunaan Lain (APL) semakin terbatas," kata Pending di Jakarta, Jumat (23/11).
Pergeseran itu terlihat dari capaian cetak sawah baru oleh Kementerian Pertanian. Sepanjang 2014 sampai 2018, luas area cetak sawah secara keseluruhan mencapai 215.811 hektare.
Namun, jika dilihat beberapa tahun terakhir, kegiatan cetak sawah terus menurun. Pada 2015, realisasi program cetak sawah mencapai sekitar 20.070 hektare, kemudian meningkat jadi 129.096 hektare pada 2016. Pada 2017, jumlahnya turun menjadi separuhnya atau hanya sekitar 60.243 hektare. Adapun realisasi 2018, hingga saat ini capaiannya baru mencapai 6.402 hektare.
Sementara itu, optimasi lahan rawa yang mulai 2016 dengan luas 3.999 hektaretumbuh melambat pada 2017 yang capaiannya 3.529 hektare. Namun, tahun ini, perkembangannya justru melesat menjadi 16.400 hektare. Alhasil, secara keseluruhan capaian sudah sebanyak 23.928 hektare.
(Baca: Diatur Perpres, Alih Fungsi Sawah Harus Izin Menteri Agraria)
Pending menjelaskan tahun ini pemerintah menargetkan optimalisasi lahan rawa bisa mencapai 41 ribu hektare. "Kami beralih fokus menjadi lahan rawa, targetnya tak tercapai karena anggarannya hanya cukup untuk 16.400 hektare," ujarnya.
Kementerian Pertanian masih melakukan koordinasi untuk peningkatan lahan rawa baru yang akan dikembangkan untuk tanaman pangan. Survei investigasi dan lahan akan difokus di bebrapa wilayah seperti di Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, Sumatera Selatan, Sulawesi Selatan, dan Lampung.
Menurutnya, lahan rawa Indonesia merupakan lahan pertanian produktif yang luas dengan potensi produktivitasnya yang bisa mencapai 7,4 ton per hektare, jauh lebih tinggi dibandingkan produktivitas varietas lokal yang hanya 2,5 sampai 3 ton per hektare.
Meski begitu, pengubahan rawa menjadi sawah masih harus melalalui beberapa tahapan dan memerlukan waktu supaya lahan bisa berproduksi. Tanah mesti melewati 3 tahapan untuk proses pengerasan agar bisa ditanami tumbuhan. "Selama 3 tahun kami melakukan rekayasa sosial, kemudian ada pemantapan kegiatan budidaya, dan mulai produksi," katanya.
Kepala Penelitian Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Hizkia Respatiadi menyatakan target swasembada pangan yang dicanangkan pemerintah sulit untuk dicapaikarena luas lahan pertanian yang tidak memadai. Selain itu, jumlah pekerja di sektor pertanian juga terus menurun.
(Baca juga: JK Kritik Mentan Terkait Pelibatan TNI dalam Sistem Cetak Sawah)
Hizkia menegaskan penguatan kapasitas petani perlu jadi prioritas untuk peningkatan produktivitas lahan yang sudah terbatas. Sebab, kebanyakan petani di Indonesia adalah petani buruh yang tidak punya lahan.
Menurutnya, petani malah membeli lebih banyak bahan pangan daripada yang mereka tanam. "Sudah seharusnya harga pangan yang lebih terjangkau jadi prioritas,” ujar Hizkia dalam keterangan pers.