Kementerian Pertanian mengusulkan penggunaan anggaran pemerintah sebagai insentif biaya distribusi jagung dari sentra produksi ke pabrik pakan. Hal ini dilakukan sebagai salah satu cara untuk membantu mengurangi biaya distribusi dan menjadikan harga jagung bisa kembali terjangkau oleh peternak.
Sentra produksi jagung saat ini sudah banyak menyebar ke Sulawesi dan Nusa Tenggara. Sementara itu, pabrik pakan masih banyak terkonsentrasi di Pulau Jawa. Dengan kondisi ini, distribusi jagung diperkirakan akan menelan biaya cukup besar.
Kepala Badan Ketahanan Pangan Kementerian Pertanian Agung Hendriadi menyatakan insentif biaya distribusi jagung akan disulkan dalam alokasi Anggaran Penerimaan dan Belanja Negara (APBN) tahun 2019. "Perhitungan saya untuk pengiriman itu Rp 300 per kilogram, kami sudah sampaikan," kata Agung di Jakarta, Senin (12/11).
Meski begitu, dia belum bisa memastikan seperti apa skema penyaluran anggarannya nanti. Kementan tengah menimbang untuk memberikan anggaran itu langsung kepada Perum Bulog atau kepada perusahaan logistik.
Salah satu pemberian insentif yang bisa dicontoh seperti pada program Bahan Bakar Minyak (BBM) Satu Harga miik Pertamina melalui skema subsidi silang. Sehingga, pendistribusian pengiriman jagung kepada peternak nantinya diharapkan bisa digratiskan dengan menggunakan dana suntikan pemerintah.
Namun, untuk mengatur penggunaan anggaran dalam skema distribusi jagung ini menurut Agung tak perlu dibentuk melalui regulasi khusus. Sebab, pihaknya akan menjadikan pengiriman jagung kepada peternak sebagai salah satu program dalam APBN Kementerian Pertanian.
Penggunaan anggaran untuk distribusi juga dianggap lebih mudah jika dibandingkan harus membangun atau memindahkan industri pakan di luar Pulau Jawa karena butuh investasi yang besar dan harus memastikan ketersediaan pasarnya.
(Baca: Distribusi Jagung Impor Akan Diprioritaskan ke Pulau Jawa)
Dengan anomali harga jagung yang meroket, pemerintah harus ikut berperan dalam menjaga harga jagung agar tetap bisa dijangkau peternak. Padahal di hilir, harga ayam dan telur juga masih rendah karena permintaan masyarakat tak sebanyak Lebaran. "Kalau tidak hadir, masalah harga jagung yang tinggi tidak akan selesai," ujar Agung.
Penasihat Gabungan Pengusaha Makanan Ternak (GPMT) Sudirman sebelumya menjelaskan, industri pakan sudah mulai menyebar ke daerah luar Jawa seperti Sulawesi Selatan, Kalimantan Barat, Sumatera Utara, Lampung, dan Sumatera Barat. Sedangkan khusus penyebaran di Pulau Jawa, saat ini tak terkonsentrasi di Banten dan Jawa Timur.
Namun, ekspansi pabrik dan penetrasi pasar ke sejumlah lokasi baru menurutnya bukan hal mudah karena harus pula didukung oleh potensi pemetaan konsumennya yang besar. “Pabrik pakan bisa dibangun kalau ada peternakan atau konsumen dan juga pelabuhan,” ujar Sudirman, bulan lalu. (Baca: Pemerintah Putuskan Impor Jagung, Kementan Berkukuh Produksi Surplus)
Peternak sebagai pengguna utama pakan ternak pun jumlahnya masih terbatas di luar Jawa. Di sisi lain, industri pakan ternak juga dinilai perlu mendekat ke pelabuhan, karena industrinya biasanya masih memerlukan bahan baku lain dari impor seperti buntil kedelai.
Ketua Perhimpunan Insan Perunggasan Rakyat Indonesia (Pinsar) Singgih Januratmoko juga membenarkan peternak ayam layer dan ayam broiler kesulitan jika harus pindah lokasi peternakan. Sebab, sekitar 60% produksi telur dan ayam diserap di pulau Jawa. "Kebutuhan ayam dan telur di Pulau Jawa mencapai 2-3 juta ton per hari," kata Singgih.