Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) menyatakan jumlah lahan pertanian dan tenaga kerja pertanian terus menurun. Karena itu butuh lebih banyak kebijakan pemerintah yang lebih berpihak kepada petani.
“Petani tidak diperhitungkan sebagai mitra strategis dalam usaha pertanian,” kata Ketua Dewan Pakar HKTI Agus Pakpahan di Jakarta, Kamis (2/8).
Kurangnya keterlibatan petani sebagai mitra stratetegis dalam usaha pertanian, menjadikan semangat bertani menurun. Akibatnya, tenaga kerja di sektor agrikultur ini pun semakin berkurang dan luas lahan pertanian makin mengecil.
Menurut catatannya, persentase tenaga kerja pertanian pada periode tahun 2000 mencapai 44,3% dari keseluruhan jumlah angkatan kerja. Namun, angka itu tersebut semakin berkurang menjadi 35,9% pada 2010.
(Baca : Kementan Bangun Korporasi Petani Kakao di Sulawesi Tenggara)
Agus menilai berkurangnya tenaga kerja pertanian turut memicu penyusutan lahan pertanian. Menurutnya, kepemilikan rumah tangga petani secara rata-rata berkurang sekitar 0,2 hektare dalam rentang tahun 1973 hingga 2003.
Selain itu, biaya produksi pertanian yang terus meningkat, namun tak diimbangi dengan nilai tukar petani yang terus menurun menjadikan minat masyarakat dalam menggeluti sektor ini mulai berkurang.
Dia mencatat, sebanyak 62% petani tidak mampu memenuhi kebutuhan rumah tangga karena pendapatan yang rendah. “Ketentuan harga dan keberlanjutan petani tergantung kebijakan pemerintah,” ujar Agus.
Oleh karenanya, dia meminta supaya pemerintah memperhatikan kelembagaan petani di beberapa daerah. Intensifikasi dengan peningkatan produktivitas pertanian menurutnya diperlukan seiring jumlah lahan yang berkurang.
(Baca juga: Daya Beli Petani Turun 0,37% Sepanjang Juli 2018)
Fokus pembangunan kawasan pertanian sudah dilakukan pemerintah. Salah satunya dengan menerbitkan Peraturan Menteri Pertanian Nomor 18 Tahun 2018 tentang Pedoman Pembangunan Kawasan Pertanian Berbasis Korporasi. Direktur Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian Bambang menyatakan Kolaka Timur telah ditetapkan sebagai proyek percontohan pengembangan kakao berbasis korporasi.
“Petani nanti diharapkan tidak hanya memproduksi, tapi juga mampu menciptakan produk akhir serta hingga memasarkan kakao sendiri,” kata Bambang dalam keterangan resmi dari Sulawesi Tenggara, kemarin.
Dia mengatakan, pembangunan pertanian berbasis korporasi di Kolaka Timur masih memerlukan masukan dari berbagai pihak. Sebab dalam membentuk korporasi tani, memerlukan sinergi antara petani, pemerintah daerah, pusat, serta universitas dan lembaga riset.
Dia menyatakan, saat ini sudah dibentuk sekitar 22 Lembaga Ekonomi Masyarakat (LEM) Sejahtera di Kolaka Timur. Lembaga tersenut akan menjadi wadah petani dalam meningkatkan pengetahuan dan kemampuan masyarakat tani.