Kementan Bangun Korporasi Petani Kakao di Sulawesi Tenggara

ANTARA FOTO/ Akbar Tado
Seorang pekerja menjemur biji kakao di salah satu industri di Mamuju, Sulawesi Barat, Jumat (17/3). Harga kakao kering di tingkat pedagang pengepul turun dari harga Rp30.000 per kilogram menjadi Rp23.000 per kilogram yang disebabkan menununnya kualitas biji kakao akibat pengaruh cuaca dan hama.
Penulis: Michael Reily
Editor: Pingit Aria
1/8/2018, 19.49 WIB

Kementerian Pertanian membangun pertanian kakao berbasis korporasi di Kolaka Timur, Sulawesi Tenggara. Pembangunan korporasi petani ini berdasarkan Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) Nomor 18 Tahun 2018 tentang Pedoman Pembangunan Kawasan Pertanian Berbasis Korporasi. 

Direktur Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian Bambang menyatakan Kolaka Timur sebagai proyek percontohan pengembangan kakao berbasis korporasi. “Petani tidak hanya memproduksi, tapi juga mampu menciptakan produk akhir serta hingga memasarkan kakao sendiri,” kata Bambang dalam keterangan resmi dari Sulawesi Tenggara, Rabu (1/8).

Dia mengatakan, pembangunan pertanian berbasis korporasi di Kolaka Timur masih memerlukan masukan yang lebih rinci dari berbagai pihak. Sebab korporasi ini memerlukan sinergi antara petani, pemerintah daerah, pusat, serta universitas dan lembaga riset.

Dia menyatakan, saat ini sudah terbentuk 22 Lembaga Ekonomi Masyarakat (LEM) Sejahtera di Kolaka Timur. Kelembagaan merupakan wadah petani untuk meningkatkan pengetahuan dan kemampuan masyarakat tani.

Namun, LEM harus bergabung untuk dapat meningkatkan skala ekonomis dan daya saing produk. “Mereka harus membentuk korporasi dan menjalin kemitraan dengan offtaker,” ujar Bambang.

Halaman:
Reporter: Michael Reily