Upaya pemerintah mewujudkan kedaulatan pangan nasional masih menghadapi sejumlah tantangan. Di sisi lain, tenaga kerja di sektor pertanian, peternakan dan nelayan masih kesulitan meningkatan produktivitas usahanya lantaran terkendala faktor permodalan. Karenanya, butuh stretegi kemitraan dari segenap pemangku kepentingan guna mendukung produktivitas dan mewujudkan ketahanan pangan.
Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita mengatakan akses permodalan dari perbakan ke petani saat ini belum optimal. Menurut laporan dari Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (Hipmi), total kredit yang disalurkan untuk sektor Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) saat ini jumlahnya baru sekitar 20%.
Kesulitan petani mendapat akses permodalan menjadikan tata niaga pertanian dikuasai tengkulak. Enggar mengungkapkan bahwa tengkulak biasanya akan membuat perjanjian dengan petani yang tidak punya modal.
(Baca : Dukung Pemerataan Ekonomi, Kadin Targetkan Gandeng 1 Juta Mitra)
Alhasil, tengkulak bakal memberikan pinjaman dengan jaminan penjualan barang dengan harga yang lebih rendah. “Ini yang membentuk harga tinggi karena dari awal sudah terjadi kesepakatan bagi hasil yang tidak seimbang,” ujar Enggar.
Karenanya, Enggar mengungkapkan pemerintah akan melakukan mediasi supaya petani menjadi sejahtera serta para pengusaha juga mendapatkan keuntungan. “Masuknya bisa lewat jalur perbankan,” katanya dalam acara Jakarta Food Security Summit, Jumat (9/3).
Wakil Ketua Umum KADIN Bidang Pengolahan Makanan dan Industri Peternakan Juan Permata Adoe, sebelumnya menuturkan dukungan pendanaan berkesinambungan akan dijembatani lewat penerapan skema inovasi pembiayaan yang membuka akses bagi para petani, peternak dan nelayan guna mendapatkan pemodalan baik dari perbankan maupun lembaga keuangan non-bank.
Selain itu, perlu juga peran lembaga yang yang bertindak selaku pendamping dalam pengelolaan produksi dan distribusi hasil pangan, berikut pelaksana penyaluran pembiayaan.
(baca juga : JK: Kolaborasi Pemerintah dan Pengusaha Dorong Ketahanan Pangan)
Penerapan skema closed-loop atau rantai kemitraan terintegrasi yang menghubungkan petani, koperasi, perusahaan selaku pembeli yang menyerap komoditas pangan (offtaker) sekaligus penjamin pendanaan (avalis) dan perbankan, dapat menjadi salah satu solusi.
Skema tersebut sebelumnya banyak dipraktikkan pada sektor perkebunan sawit, dimana para petani menggarap lahan bersertifikat dan legal, yang memungkinkan mereka mengagunkan lahan untuk menjaring kredit dengan bunga terjangkau. Dengan ketersediaan pendanaan, para petani perkebunan sawit mampu membeli dan menggunakan bibit unggul bersertifikat, sehingga produktivitas mereka turut naik, terlebih mereka juga mendapatkan pendampingan guna menjalankan praktik agribisnis terbaik.
Sementara itu di lain pihak, perbankan mengklaim memiliki sudah kepedulian terhadap petani, peternak dan nelayan. Direktur Utama Bank Rakyat Indonesia (BRI) Suprajarto menyatakan pihaknya telah mendirikan sejumlah Badan Usaha Milik Desa (BUMDes), sebagai salah satu upaya pemberdayaan usaha UMKM dan penyalurankredit bagi pelaku usaha mikro, sekaligus meningkatkan inklusi keuangan masyarakat.
Namun, Suprajarto meminta pengusaha menjadi offtaker dari hasil produksi. Menurutnya, harus ada kajian komprehensif tentang dukungan dunia usaha supaya petani sejahtera dengan penghasilannya yang lebih baik. “Kepastian pengembalian kredit sulit kalau tidak ada jaminan perusahaan,” katanya.
Sementara di sisi lain, pertanian diakui memiliki sumbangan besar terhadap pertumbuhan ekonomi. Direktur Jenderal Anggaran Kementerian Keuangan Askolani mencatat bahwa penyerapan tenaga kerja sektor pertanian, peternakan, dan perikanan memberikan sumbangan yang cukup besar terhadap pertumbuhan ekonomi dengan kontribusi terhadap angka serapan tenaga kerja sebesar 0,47%.
“Tenaga kerjanya cukup tinggi dibandingkan bidang lainnya, tapi jumlahnya menurun, ” ujar Askolani.
Karenanya ia berharap agar mutu hasil tanaman pangan dan produk hortikultura, serta peternakan dan perikanan terus meningkat. Terlebih anggaran untuk subsidi pangan terus besar, yakni bisa mencapai Rp 28 triliun tahun ini. "Kadin dan kalangan pengusaha diharapkan mendukung agar hasil produksi sektor pangan bisa semakin bermanfaat kepada masyarakat," ujarnya.
Ahli ekonomi Aviliani menilai upaya peningkatan kesejahteraan dan akses permodalan petani bisa diawali dengan upaya pengelompokan. Tujuannya agar mudah menemukan skema yang menarik untuk pengusaha serta petani. Sehingga makan memudahkan proses pembinaan ke petani nelayan dan peternak, kemudian disusul langkah sertifikasi lahan dipercepat untuk yang memiliki lahan. "Sehingga jaminan dari bank bisa lebih mudah," tuturnya.
Sementara itu sebelumnya, Wakil Presiden Jusuf Kalla menuturkan tantangan industri pangan saat ini cukup berat seiring dengan melonjaknya jumlah penduduk, keterbatasan lahan pertanian dan perubahan iklim. Pertumbuhan jumlah penduduk yang lebih cepat dari jumlah ketersediaan pangan, salah satunya bisa diantisipasi dengan penguasaan teknologi.
"Teknologi pangan bisa terwujud jika semua pemangku kepentingan bekerja sama," ujar Kalla memberikan sambutan acara Jakarta Food Security Summit di Jakarta Convention Center, pekan lalu.
Pengusaha dan pemerintah didorong bisa saling berkolaborasi dalam pengembangan teknologi pangan, misalnya lewat pemanfaatan pusat riset pemerintah dengan kemampuan pengusaha guna mendorong produktivitas tanaman pangan lebih tinggi.
Dengan begitu, pemerintah dan pengusaha bisa mendorong petani menggunakan sistem pertanian yang modern dan berteknologi maju. “Semua tantangan harus jadi peluang,” jelas Kalla.
Ia juga mencatat, tantantangan lain yang dihadapi dalam upaya pemenuhan kebutuhan pangan adalah semakin berkurangnya tenaga kerja di sektor pertanian dari 42% menjadi 31% dari total jumlah penduduk Indonesia.
Selain itu, berkurangnya jumlah tenaga kerja sektor pertanian juga tidak diikuti dengan perbaikan pendapatan petani, yang mana upah petani saat ini masih berada di bawah rata-rata Upah Minimum Regional (UMR).
Produktivitas tanaman juga dinilai tidak mampu menolong peningkatan pendapatan petani. Saat ini, Indonesia hanya mampu memproduksi padi sebanyak 5,5 ton per hektare, jauh di bawah Malaysia yang bisa mencapai 8 ton per hektare. Begitu juga dengan kelapa sawit, Indonesia masih kalah saing dalam hal produktivitas.
Sementara produktivitas masih rendah, harga pangan dunia terus mengalami peningkatan. Contohnya seperti pada harga beras impor yang pada tahun 2000 harganya hanya sekitar US$ 170 per ton dan 18 tahun kemudian harganya sudah jauh meningkat menjadi US$ 420 per ton.
Karenanya, ia meminta ketahanan pangan mesti ditingkatkan setiap tahunya, guna mengimbangi kebutuhan penduduk yang naik sebesar 3% seiring dengan angka pertumbuhan penduduk serta harga bahan kebutuhan pokok yang terus tinggi mengikuti biaya logistik.