PT Dirgantara Indonesia (Persero) telah berhasil memproduksi pesawat perintis N-219, yang telah melalui uji coba terbang pada pertengahan bulan lalu. Namun, pesawat ini masih harus menjalani rangkaian uji coba lagi dari Kementerian Perhubungan (Kemenhub), jika ingin terbang di langit Indonesia secara komersial.
"Jadi harus ada tahapan yang ditunjukkan mereka hingga mereka dapat sertifikasi," kata Direktur Jenderal Perhubungan Udara Kemenhub Agus Santoso saat konferensi pers di kantornya, Jakarta, Kamis (7/9).
Dalam tiga tahun terakhir ini Dirgantara Indonesia (PTDI) memang telah mengajukan sertifikasi desain kepada Kemenhub. Namun, sertifikasi itu saja masih belum cukup. PTDI masih harus melalui tiga rangkaian tes lagi untuk mendapatkan sertifikasi tambahan.
Ketiga tes tersebut di antaranya adalah tes penerbangan (flight test) selama 500 sampai 600 jam. Tes olah gerak (static test), sampai sejau mana pesawat ini mampu menahan beban maksimal. Kemudian tes ketahanan tekanan (fatigue test) yang bisa melihat seberapa panjang usia ekonomis pesawat tersebut. Hasil fatigue test dapat menjadi pegangan para maskapai yang berencana memesan pesawat lokal ini.
"Itu kami tes dengan menggunakan simulator dengan beberapa (sensor) secara langsung diletakkan di titik-titik pesawat," kata Agus. (Baca: Kado HUT RI, Pesawat N-219 Sukses Terbang Perdana)
Menurut Agus, proses sertifikasi N219 berbeda dari uji pesawat Dirgantara Indonesia (PTDI) sebelumnya, seperti CN-235 dan N-250 yang harus didatangkan ke Jakarta untuk menjalani tes tersebut. Saat ini Kemenhub mendatangi langsung pabrik perakitan pesawat BUMN tersebut di Bandung.
Bahkan, Kemenhub juga memberi masukan agar PTDI membuat varian N-219 versi amfibi yang dapat mendarat di darat dan di air. Tujuannya agar pesawat ini dapat didaratkan di wilayah kepulauan terpencil yang tidak memiliki bandara besar. Aapalagi, kata Agus, pesawat ini didesain untuk bisa lepas landas pada landasan yang pendek seperti di wilayah Papua.
Direktur Kelaikudaraan dan Pengoperasian Pesawat Udara Muzaffar Ismail mengaku belum bisa menargetkan kapan sertifikasi ini bisa rampung, lantaran banyaknya jam terbang yang harus ditempuh N-219. Pesawat ini juga memiliki berat beban maksimum saat take off seberat 7.030 kilogram serta dapat takeoff di runway 500 meter.
"Selain kami, aplikan (PTDI) juga harus bekerja keras," katanya. (Baca: Mendag: MoU Barter Sukhoi dengan Hasil Kebun Indonesia Telah Diteken)