Seberapa Efektif Aksi Boikot Produk Prancis terhadap Brand Perusahaan?

ANTARA FOTO/Hendra Nurdiyansyah/wsj.
Pengunjuk rasa melakukan aksi boikot Presiden Prancis Emmanuel Macron di kawasan Nol Kilometer Yogyakarta, DI Yogyakarta, Jumat (30/10/2020). Aksi tersebut sebagai bentuk protes dan kecaman terhadap pernyataan yang dilontarkan oleh Presiden Prancis Emmanuel Macron yang dianggap menghina umat Islam.
Penulis: Ekarina
2/11/2020, 19.15 WIB

Seruan boikot produk dan brand Prancis menggema di media sosial. Aksi ini dipicu komentar Presiden Prancis, Emmanuel Macron yang dianggap menghina Islam terkait penggunaan karikatur Nabi Muhammad dengan dalih kebebasan berekspresi. 

Aksi tersebut dinilai berdampak beragam terhadap penjualan produk asal negara tersebut.

Pengamat Pemasaran dari Inventure, Yuswohady mengatakan, Indonesia memiliki domain brand dan agama sebagai hal yang terpisah. Konsumen masyarakat muslim dalam negeri menurutnya terbagi dalam tiga kelompok, yakni rasionalis, universalis dan konformis.

Konsumen dari kelompok rasionalis lebih mementingkan kemanfaatan dan kualitas produk dibandingkan keagamaan. Universalis, melihat dari kualitas tapi juga harus sesuai syariah. Sedangkan konformis memiliki kecenderungan menutup diri. Dari segi pendidikan, segmen rasionalis dan universalis dinilai lebih tinggi dibandingkan dengan konformis.

"Kalau saya lihat berdasarkan survei internal, pada 2017 sekitar 60% konsumen Indonesia berasal dari kelompok rasionalis dan universalis. Jadi, kecenderungan dampak aksi boikot terhadap brand Prancis ini tidak akan besar. Terlebih segmen produknya Prancis sebagian adalah high brand," kata Yuswohady kepada katadata.co.id, Senin (2/11).

Sehingga, banyak konsumen masih tetap melihat manfaat produk sebelum memutuskan untuk tidak membeli atau memboikot produk. Apalagi, banyak produk Prancis saat ini sudah berubah sebagai perusahaan global dan tidak lagi diketahui identitas asalnya.

"Sentimen ini menurut saya tidak akan lama dan akan menghilang dengan sendirinya," ujar dia.

AKSI MAHASISWA BOGOR KECAM PRESIDEN PRANCIS (ANTARA FOTO/Arif Firmansyah/wsj.)

Sementara itu, Pengajar Branding Universitas Multimedia Nusantara (UMN), Trihadi Pudiawan Erhan mengatakan seruan boikot produk Prancis bisa mempengaruhi citra merek produk asal negara tersebut di Indonesia.

Bagaimanapun, asal negara atau country of origin menurutnya memegang peranan penting terhadap pembentukan persepsi konsumen tentang sebuah merek.

"Masalahnya, citra yang ada di masyarakat tentang Prancis saat ini tidak diasosiasikan dengan hal-hal yang mewah berkualitas premium, melainkan image yang terbentuk sebagai anti islam. Secara langsung dampaknya bisa terjadi penurunan penjualan," katanya kepada katadata.co.id.

Sentimen negatif pun menurutnya tidak hanya terjadi pada merek yang secara langsung datang dari Prancis, tetapi juga merek dari anak usaha atau perusahaan subsidiary negara tersebut.

"Hal ini juga mungkin saja melebar kepada merek-merek dari perusahaan negara lain atau perusahaan Indonesia sekalipun yang menggunakan image yang mengarah ke Prancis dari segi nama mereknya ataupun citra yang dibentuk," kata dia.

Alhasil, aksi boikot tidak hanya berdampak terhadap merek itu sendiri, tetapi juga ke konsumen. Karena boikot dilakukan tidak hanya oleh konsumen tapi peretail tertentu di daerah.

Imbasnya, konsumen yang tidak terpengaruh oleh isu ini juga akan kehilangan akses kepada merek-merek yang selama menjadi pilihan mereka, baik karena preferensi kualitas dan harga.

Sementara mengenai lama tidaknya dampak boikot, menurutnya bergantung pada kecepatan dan kualitas dari komunikasi publik dari perusahaan untuk menanggapi dan  menjawab keresahan tersebut.

Terlebih, sumber penolakan bukan berasal dari internal perusahaan atau merek itu sendiri. "Merek harus memiliki kemampuan untuk memisahkan diri dari sumber masalah dan menyatakan posisinya dengan jelas terhadap isu terkait," ujar dia.

Brand Prancis di Indonesia 

Prancis memiliki sejumlah brand ternama yang cukup dikenal di Indonesia, mulai dari produk mewah di industri fesyen dan kecantikan, otomotif, produk konsumsi, retail dan sebagainya. Sebut saja  Danone, Peugeot, Louis Vuitton, Channel, Chloe, Garnier, Loreal, Carrefour, Airbus hingga merek susu bayi SGM. 

Corporate Communication Director Danone Indonesia, Arief Mujahidin enggan berkomentar banyak mengenai aksi boikot.

Dia menegaskan, produk seperti SGM dan Aqua sebagai produk yang sudah lama dibangun dan diproduksi di Indonesia dengan tenaga kerja dan konsumen lokal. 

"Kami akan terus berbuat untuk membantu menyediakan produk bernutrisi untuk mendukung generasi masa depan, serta menawarkan hidrasi sehat untuk memenuhi kebutuhan hidrasi keluarga Indonesia" ujarnya kepada katadata.co.id.

Aqua pertama kali didirikan pada 1973 oleh Tirto Utomo melalui PT Golden Missisipi sebagai perusahaan air minuman dalam kemasan (AMDK) pertama di Indonesia. Pabrik mereka pertama mereka pertama kali didirikan di Pondok Ungu, Bekasi dan terus meluas ke Jawa Timur. 

Pada 1998, aliansi strategis antara Tirta Investama dan Danone terbentuk. Melalui Danone Asia Holding Pte.Ltd sebagai, pemegang saham minoritas  Tirta Investama , PT Aqua golden Misssipi dan PT Tirta Sibayakindo sepakat bersinergi membentuk Grup Aqua.

Pada 2000 Aqua mulai mencantumkan merek Danone di seluruh kemasannya. Lalu pada  2001, Danone meningkatkan kepemilikan saham di Tirta Investama sehingga Danone menjadi pemegang saham mayoritas Grup Aqua. Di tahun yang sama, Aqua menghadirkan kemasan botol kaca baru 380 ml.