Ada Seruan Boikot Produk Prancis, Danone Ungkap Kontribusinya di RI

ANTARA FOTO/Arif Firmansyah/wsj.
Sejumlah mahasiswa yang tergabung dalam Lembaga Dakwah Kampus (LDK) Stikom El Rahma Bogor melakukan aksi damai mengecam Presiden Prancis Emmanuel Marcon di Tugu Kujang, Kota Bogor, Jawa Barat, Jumat (30/10/2020). Dalam aksinya, mahasiswa mengutuk keras pernyataan kontroversial Presiden Prancis Emmanuel Macron terhadap pembuatan kartun Nabi Muhammad SAW di salah satu majalah di Prancis yang dianggap melecehkan agama Islam.
Penulis: Ekarina
3/11/2020, 12.38 WIB

Seruan boikot produk Prancis bergulir di sejumlah negara dan media sosial, yang salah satunya menyasar merek minuman air dalam kemasan (AMDK) Danone-Aqua. Perusahaan pun menjelaskan soal kondisi bisnis dan kontribusinya di dalam negeri saat ini.

Corporate Communication Director Danone Indonesia, Arif Mujahidin mengatakan, perusahaan sudah lama beroperasi di Indonesia melalui kerja sama strategis bersama Aqua. Produk air kemasan itu menurutnya sudah ada di Indonesia sejak 1973, sedangkan susu bayi SGM di 1965. 

"Perusahaan kami tidak memiliki afiliasi politik di luar bisnis. Kami akan terus melayani kebutuhan nutrisi dan hidrasi sehat melalui jutaan pedagang yang menjual produk Danone di Indonesia,” katanya kepada katadata.co.id, Senin (2/11)

Dia menegaskan, produk seperti SGM dan Aqua dibangun dan diproduksi di Indonesia oleh tenaga kerja lokal dan diperuntukan bagi konsumen dalam negeri.  Oleh karena itu, perusahaan menyatakan bakal terus menyediakan produknya ke masyarakat melalui jutaan pedagang.

Berdasarkan situs resminya, Aqua didirikan pada 1973 oleh pengusaha Tirto Utomo melalui perusahaan bernama PT Golden Mississippi. Di tahun yang sama, pabrik pertama Aqua dibangun di Pondok Ungu, Bekasi, Jawa Barat.

Perusahaan ini merilis produk pertama Aqua dalam kemasan botol kaca berukuran 950 ml dengan harga jual saat itu Rp 75 per botol.

Perusahaan terus berkembang hingga mendirikan pabrik keduanya di Pandaan, Jawa Timur pada 1984 guna semakin mendekati konsumen wilayah tersebut. Setahun berikutnya, varian produk Aqua bertambah lewat kemasan botol plastik atau PET berukuran 220 ml.

Pada 1998, aliansi strategis dibangun antara Tirta Investama dan Danone melalui Danone Asia Holding Pte.Ltd sebagai pemegang saham minoritas. Selanjutnya Tirta Investama , PT Aqua Golden Misssipi dan PT Tirta Sibayakindo sepakat bersinergi membentuk Grup Aqua.

Pada 2000, logo Danone mulai dicantumkan di setiap kemasaan produk Aqua. Lalu, di 2001, Danone mulai meningkatkan kepemilikan saham di Tirta Investama hingga menjadi pemegang saham mayoritas Grup Aqua. Di tahun yang sama, Aqua menghadirkan kemasan botol kaca baru 380 ml.

Aqua Golden Misssipi sempat tercatat di Bursa Efek Indonesia (BEI) hingga akhirnya delisting pada 1 April 2011.

Dampak Boikot Produk Prancis

Tak hanya Danone, sejumlah brand Prancis dari berbagai sektor banyak digunakan dan cukup dikenal di Indonesia. Sebut saja, Peugeot, Louis Vuitton, Channel, Chloe, Garnier, Loreal, Carrefour serta Airbus.

Pengajar Branding Universitas Multimedia Nusantara (UMN), Trihadi Pudiawan Erhan mengatakan seruan boikot produk Prancis bisa mempengaruhi citra merek produk asal negara tersebut di Indonesia.

Bagaimanapun, asal negara atau country of origin menurutnya memegang peranan penting terhadap pembentukan persepsi konsumen tentang sebuah merek.

"Masalahnya, citra yang ada di masyarakat tentang Prancis saat ini tidak diasosiasikan dengan hal-hal yang mewah berkualitas premium, melainkan image yang terbentuk sebagai anti islam. Secara langsung dampaknya bisa terjadi penurunan penjualan," katanya kepada katadata.co.id.

Sentimen negatif pun menurutnya tidak hanya terjadi pada merek yang secara langsung datang dari Prancis, tetapi juga merek dari anak usaha atau perusahaan subsidiary negara tersebut.

"Hal ini juga mungkin saja melebar kepada merek-merek dari perusahaan negara lain atau perusahaan Indonesia sekalipun yang menggunakan image yang mengarah ke Prancis dari segi nama mereknya ataupun citra yang dibentuk," kata dia.

Aksi boikot tidak hanya berdampak terhadap merek itu sendiri, tetapi juga ke konsumen pengguna produk. Imbasnya, konsumen yang tidak terpengaruh oleh isu ini juga akan kehilangan akses kepada merek-merek yang selama menjadi pilihan mereka, baik karena preferensi kualitas dan harga.

Sementara mengenai lama tidaknya dampak boikot, menurutnya bergantung pada kecepatan dan kualitas dari komunikasi publik dari perusahaan untuk menanggapi dan menjawab keresahan tersebut. Terlebih, sumber penolakan bukan berasal dari internal perusahaan atau merek itu sendiri.

"Merek harus memiliki kemampuan untuk memisahkan diri dari sumber masalah dan menyatakan posisinya dengan jelas terhadap isu terkait," ujar dia.

Seruan boikot terjadi di sejumlah negara seperti Kuwait, Qatar, Palestina, Mesir, Aljazair, Yordania, Arab Saudi, dan Turki. Hal ini mulanya dipicu komentar Presiden Prancis, Emmanuel Macron yang dianggap menghina Islam terkait penggunaan karikatur Nabi Muhammad dengan dalih kebebasan berekspresi.

Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan, Didi Sumedi memastikan pemerintah tidak akan mengambil langkah untuk turut serta memboikot produk-produk asal Prancis. Sebab, dia memandang isu yang terjadi di Prancis di luar dari konteks perdagangan.

"Karena kasus tersebut menyangkut isu non trade, sejauh ini tidak ada langkah-langkah yang Kemendag lakukan," katanya dikutip dari merdeka.com, Senin (2/11).

Oleh karena itu, sejauh ini pemerintah tidak mempermasalahkan atau masih membebaskan produk-produk asal Prancis. Mengingat, tidak ada larangan atau pemboikotan yang dilakukan oleh Kementerian Perdagangan.