Cek Data: Pemerintah Bangun Jalan Tol Cuma untuk Dijual?

ANTARA FOTO/ Fakhri Hermansyah/foc.
Foto udara Jalan Tol Cibitung-Cilincing (JTCC) seksi 3 di Tarumajaya, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat, Jumat (29/7/2022).
Penulis: Reza Pahlevi
17/11/2022, 14.13 WIB

Kabar penjualan aset negara kembali merebak. Utamanya setelah perusahaan pelat merah PT Waskita Karya (Persero) Tbk berencana melepas saham di sejumlah ruas tol yang dikelolanya. 

BUMN tersebut menargetkan menjual kepemilikan saham di lima badan usaha jalan tol (BPJT) hingga 2025. Perseroan berharap divestasi saham tersebut dapat menurunkan utang sebesar Rp23 triliun.

Kontroversi

Berita mengenai rencana divestasi Waskita ini direspons negatif oleh warga net. Salah satu akun Twitter yang meramaikan isu ini adalah @SautSipelebegu milik sastrawan Saut Situmorang.

 Dalam cuitannya, Saut menampilkan infografik rencana divestasi Waskita yang dibuat Sindonews. Dalam komentarnya, Saut menilai pembangunan tol sekadar untuk dijual kembali. “Ternyata dibangun buat dijual! Ketipu lu, Bong,” katanya.

Salah satu netizen membalas cuitan tersebut dengan mengatakan, pembangunan tol hanya praktik “dari cukong untuk cukong”. Cukong di sini adalah pemilik modal besar, baik pengusaha di dalam negeri maupun asing. Maksudnya adalah dijual untuk kemudian dimiliki oleh para pemburu rente, yakni para cukong tersebut. 

Fakta

Tudingan BUMN “menjual” jalan tol tidak sesuai konteks. Meskipun yang membangun, tetapi BUMN tidak memiliki ruas tol tersebut. Sesuai UU Nomor 2 tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum, jalan tol adalah aset negara karena dibangun di atas tanah milik negara. 

Badan usaha, baik BUMN maupun swasta, hanya bertindak sebagai pengelola atau badan usaha jalan tol (BUJT). Mereka memperoleh konsesi dalam jangka waktu tertentu antara 35-50 tahun. 

Masa  konsesi yang panjang tersebut untuk mengganti investasi yang dikeluarkan untuk membangun jalan tol tersebut. Adapun penggantian dana investasi tersebut berasal dari pungutan yang dibayarkan pengendara setiap melewati jalan tol. 

Sementara dalam UU Nomor 2 tahun 2022 tentang Jalan mengatur bahwa begitu masa konsesi berakhir maka pengelolaan jalan tol dikembalikan kepada pemerintah pusat. Setelahnya pemerintah dapat mengalihkan status jalan tol menjadi jalan bebas hambatan non-tol yang tidak berbayar, atau menugaskan BUMN untuk mengelola dan melakukan perawatan. 

Makanya ada ruas tol yang sudah melewati masa konsesi, tarifnya masih tergolong murah dibandingkan dengan ruas tol baru. 

Kembali lagi kepada kasus Waskita, yang dilepas adalah kepemilikan saham di BUJT. Aksi korporasi ini disebut sebagai divestasi saham. Berdasarkan laporan keuangannya, Waskita tercatat telah tujuh kali melakukan divestasi saham BUJT sejak 2019 hingga September 2022. 

Ketujuh aksi divestasi tersebut antara lain: 

  1. PT Jasamarga Ngawi Kertosono Kediri 
  2. PT Jasamarga Solo Ngawi
  3. PT Jasamarga Kualanamu Tol
  4. PT Jasamarga Semarang Batang
  5. PT Cinere Serpong Jaya
  6. PT Cibitung Tanjung Priok Port Tollways
  7. PT Cimanggis Cibitung Tollways   

Sebenarnya, masih ada rencana divestasi kepemilikan saham di PT Semesta Marga Raya dan PT Pejagan Pemalang Toll Road pada September tahun ini. Meski begitu, penjualan ini belum dimasukkan dalam penghitungan laporan keuangan Waskita per 30 September 2022.

Total divestasi kepemilikan saham di tujuh BUJT tersebut menghasilkan Rp7,38 triliun. Dari hasil divestasi tersebut, Waskita memperoleh laba sebesar Rp3,02 triliun setelah dikurangi biaya investasi untuk membangun ruas-ruas jalan tol tersebut. 

Lima dari tujuh divestasi tersebut dilakukan di BUJT yang tidak dikendalikan Waskita. Adapun dua BUJT yang dikendalikan Waskita adalah Cibitung Tanjung Priok Port Tollways dan Cimanggis Cibitung Tollways. 

Lantas, apakah divestasi ini bentuk praktik “dari cukong untuk cukong” seperti yang dituduhkan?

Jika mengacu ke penjelasan di atas, jawabannya tidak. Ini karena jalan tol yang “dijual” masih berstatus sebagai aset negara. Perusahaan swasta atau asing yang membeli saham divestasi tersebut hanya berhak mengelola dan memperoleh masa konsesi. 

Ketujuh BUJT yang disebutkan di atas juga masih dikendalikan oleh Indonesia lewat BUMN lain. 

Waskita memang sempat melepas kepemilikan sahamnya di tiga BUJT ke pihak asing, yaitu Kings Key Limited dan Kings Road Limited—keduanya dari Hong Kong. Meski begitu, ketiga BUJT ini masih dikendalikan oleh BUMN pengelola jalan tol, PT Jasa Marga (Persero) Tbk.

Sementara, dua divestasi BUJT lainnya juga diambil alih oleh BUMN. Pelindo lewat PT Akses Pelabuhan Indonesia kini memiliki penuh Cibitung Tanjung Priok Port Tollways dan PT Sarana Multi Infrastruktur (Persero) kini menguasai Cimanggis Cibitung Tollways lewat 65% kepemilikan saham.

Lalu, mengapa Waskita harus mendivestasi sahamnya di BUJT?

(Baca: Simalakama Beban Utang BUMN Karya Demi Proyek Infrastruktur)

Alasannya, BUMN karya ini ingin memperbaiki kinerja keuangannya. Persoalannya, beban utang Waskita menggunung yakni mencapai Rp82,4 triliun hingga 30 September 2022. Total utang ini terbesar di antara BUMN karya atau BUMN bidang konstruksi lainnya.

Besarnya utang ini disebabkan Waskita merupakan kontraktor utama untuk proyek-proyek jalan tol era Presiden Joko Widodo. Penugasan ini tidak disertai penyertaan modal negara (PMN) sehingga perseroan menggunakan sumber keuangan internal untuk membangun, termasuk menggunakan utang dari perbankan dan lembaga keuangan lain.

Sumber:

UU nomor 2 tahun 2022 

PT Waskita Karya (Persero) Tbk 

---------------

Jika Anda memiliki pertanyaan atau informasi yang ingin kami periksa datanya, sampaikan melalui email: cekdata@katadata.co.id atau via akun media sosial Katadata.