Advertisement
Analisis | Simalakama Beban Utang BUMN Karya Demi Proyek Infrastruktur - Analisis Data Katadata
ANALISIS

Simalakama Beban Utang BUMN Karya Demi Proyek Infrastruktur

Foto: Joshua Siringo-ringo/ Ilustrasi/ Katadata
Presiden Jokowi getol menggagas dan menyelesaikan proyek-proyek infrastruktur. Namun penugasan pemerintah untuk mewujudkan pembangunan tersebut menyebabkan utang lima BUMN karya membengkak.
Reza Pahlevi
12 Oktober 2022, 12.06
Button AI SummarizeBuat ringkasan dengan AI

Sejak menjabat, Presiden Joko Widodo yang akrab dipanggil Jokowi langsung tancap gas memulai proyek-proyek infrastruktur strategis. Anggaran infrastruktur pun meningkat tajam. Persoalannya, kontraktor proyek-proyek infrastruktur kini menanggung utang besar akibat ambisi ini.

Jokowi segera menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) subsidi ketika mulai menjabat. Alasannya adalah anggaran subsidi BBM dapat dialihkan ke pos lain yang lebih penting, salah satunya infrastruktur.

“Negara membutuhkan anggaran untuk infrastruktur, pendidikan, dan kesehatan. Anggaran ini tidak tersedia karena dihamburkan untuk subsidi BBM,” katanya pada 2014.

Anggaran infrastruktur pun meningkat di bawah Jokowi. Pos anggaran yang sebelumnya tidak pernah melebihi Rp 200 triliun pada masa Susilo Bambang Yudhoyono. Di bawah Jokowi, sempat menembus Rp 403,3 triliun pada 2021.

Hasilnya dapat terlihat, salah satunya dari pembangunan jalan tol. Jokowi menjadi presiden dengan pembangunan jalan tol terpanjang dibandingkan dengan presiden lainnya.

Mengutip data Badan Pengatur Jalan Tol (BPJT), ada 1.569,17 km jalan tol yang dibangun pada masa kepemimpinannya. Ini merupakan 63% dari total jalan tol sepanjang 2.499,06 km yang ada di Indonesia.

Ambisi Berbuntut Beban

Meski begitu, ambisi pembangunan besar-besaran ini ternyata berbuntut panjang bagi badan usaha milik negara bidang konstruksi yang biasa juga disebut BUMN Karya.

Ada lima BUMN Karya yang kinerjanya bisa dilihat di Bursa Efek Indonesia (BEI). Kelimanya adalah PT Adhi Karya (Persero) Tbk (ADHI), PT Hutama Karya (Persero) (PTHK), PT Pembangunan Perumahan (Persero) Tbk (PTPP), PT Waskita Karya (Persero) Tbk (WSKT), dan PT Wijaya Karya (Persero) Tbk (WIKA).

Per semester I-2022, jumlah liabilitas atau utang kelima BUMN Karya tersebut mencapai Rp282,68 triliun. WSKT memiliki utang terbesar yaitu Rp77,2 triliun dan disusul oleh PTHK sebesar Rp73,8 triliun.

Waskita menjadi kontraktor utama untuk proyek-proyek jalan tol di era Jokowi. Pada 2017, sekitar 90% dari target ruas tol baru sepanjang 1.260 km menjadi tanggung jawab Waskita.

Wakil Menteri BUMN Kartika Wirjoatmodjo pernah menjelaskan penugasan dari pemerintah menjadi salah satu sebab membengkaknya utang Waskita Karya. Soalnya, penugasan pemerintah tidak disertai penyertaan modal negara (PMN) sehingga perusahaan menggunakan keuangan sendiri.

Padahal pembangunan jalan tol menghabiskan dana yang besar seperti Trans-Sumatra yang biayanya mencapai Rp27,8 triliun. Alhasil, utang Waskita pun membengkak karena membutuhkan pembiayaan dari bank untuk penyelesaian proyek.

“Jadi meningkat empat kali lipat, jauh sekali memang karena penyelesaian tol itu khususnya,” kata pria yang akrab disapa Tiko ini dalam rapat bersama DPR pada 2021 lalu.

Ruas tol yang dikerjakan Waskita meliputi tol Trans-Jawa dan Sumatra. Sebagian besar tol juga adalah proyek tol mangkrak yang diakuisisi dari swasta sehingga menambah kebutuhan biaya. Total, ada 12 jalan tol mangkrak yang diakuisisi Waskita dari swasta pada 2015 hingga 2017.

Hutama Karya juga mendapat penugasan khusus untuk sebagian besar ruas tol Trans-Sumatra. Berbeda dengan Waskita Karya, Hutama Karya rutin mendapat PMN untuk penyelesaian proyek tersebut.

Ini yang membuat kondisi PTHK relatif lebih sehat jika dibandingkan dengan Waskita meski utangnya terbesar kedua di antara BUMN Karya. Sehatnya kondisi PTHK ini juga dapat terlihat dari rasio liabilitas/ekuitas (debt-to-equity ratio/DER) PTHK yang lebih sehat dibanding BUMN Karya lain.

Di sisi lain, Adhi Karya memiliki rasio paling tidak sehat meski utangnya terkecil. Sama seperti Waskita, hal ini disebabkan oleh pembiayaan proyek yang menggunakan utang.

Direktur Utama ADHI Entus Asnawi Mukhson mengatakan pembiayaan awal untuk proyek tol Banda Aceh-Sigli menggunakan utang. “Karena pada awal-awalnya dulu dana untuk Banda Aceh-Sigli juga belum tersedia,” katanya di Komisi IX DPR pada September 2022.

Selain itu, Entus menyebutkan pengerjaan proyek LRT Jabodebek juga menyebabkan DER perusahaan tidak sehat. Perusahaan baru menerima Rp16 triliun dari total Rp19,1 triliun, berdasarkan kontrak proyek yang seharusnya dibayar per tiga bulan.

Editor: Aria W. Yudhistira