Soal Talenta Digital, Indonesia Masih Kalah dari India

ANTARA FOTO/Moch Asim
Sejumlah siswa mengerjakan soal pelajaran produktif teknik audio video (TAV) saat mengikuti Ujian Nasional Berbasis Komputer (UNBK) susulan di SMK Negeri 2 Surabaya, Jawa Timur, Rabu (19/4).
Penulis: Desy Setyowati
Editor: Pingit Aria
8/11/2018, 16.29 WIB

Pertumbuhan ekonomi digital di Indonesia tampaknya belum diimbangi oleh ketersediaan talenta yang mumpuni. Beberapa perusahaan teknologi di Indonesia masih harus mengimpor tenaga kerja asing.

Kondisi ini berbeda dengan yang terjadi di India. Firma konsultan organisasi global Korn Ferry merilis studi Global Talent Crunch yang memperkirakan, India bakal surplus tenaga kerja ahli sebanyak 245,3 juta orang pada 2030. Sebaliknya, Indonesia diproyeksi kekurangan sekitar 18 juta tenaga ahli pada 2030.

Hanya, Asosiasi E- commerce Indonesia (idEA) menyatakan pandangan yang lebih optimistis. Ketua Umum idEA Ignatius Untung menyatakan, tiga hingga lima tahun ke depan, Indonesia tak perlu lagi impor talenta digital lagi dari India.

Sebab, kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) diperkirakan sudah setara India pada 2021 atau 2023. "Kalau semua pemangku kepentingan bekerja sama, semoga tiga hingga lima tahun Indonesia bisa mengarah ke sana (India)," kata Ketua Umum idEA Ignatius Untung di William's Cafe, Jakarta, Kamis (8/11).

(Baca juga: Indonesia Diprediksi Kekurangan 18 Juta Tenaga Ahli pada 2030)

Meski begitu, menurutnya Indonesia bisa memenuhi kebutuhan talenta di dalam negeri jika pengembangan SDM dilakukan sedini mungkin. Tentunya, perlu keterlibatan seluruh pemangku kebijakan untuk memperbaharui keterampilan SDM sesuai dengan kebutuhan industri.

Ia menyampaikan, salah satu penyebab kualitas SDM India lebih unggul dibanding Indonesia adalah kemampuan berbahasa Inggris. Sementara, beragam teknologi dikembangkan di negara-negara maju yang juga bahasa Inggris. Untuk itu, kemampuan ini menjadi hal dasar supaya SDM Indonesia memahami perkembangan teknologi.

Sementara, Ketua Bidang Human Capital Development idEA Sofian Lusa menambahkan, kurikulum perguruan tinggi di Indonesia terpaku pada paket. Misalnya, seseorang diyantakan lulus Sarjana (S1) bila menyelesaikan sekian satuan kredit semester (sks). Sementara di negara lain, mahasiswa diberi keleluasan untuk mengambil mata kuliah yang diinginkan.

Ia mencontohkan, di Inggris dan Amerika Serikat (AS), mahasiswa bisa mengambil mata kuliah teknopreneur 3 sks, lalu terkait ekonomi 3 sks. "Di Indonesia, perguruan tinggi swasta masih lebih fleksibel," katanya.

Kebijakan yang menghambat seperti ini menurutnya yang mesti dipangkas oleh pemerintah. Apalagi, Indonesia bakal mengalami bonus demografi pada 2020 hingga 2030.

(Baca: Kadin: Tak Masalah Pekerja Asing, tapi Punya Kemampuan dan Legal)

Apabila kualitas SDM tidak disesuaikan dengan kebutuhan, banyaknya usia produktif bisa menjadi boomerang bagi perekonomian. Sebab, itu artinya pengangguran bakal meningkat. "Indonesia baru sekitar 0,6% pengusahanya. Sementara untuk jadi negara maju minimal 2% dari total populasi," ujarnya.

Untuk mengurangi kesenjangan talenta digital, iDEA akan menggelar program pengembangan SDM seperti idEA Works Edu pada 15-16 Februari 2019 dan idEA Works Pro pada 22-23 Februari 2019. Langkah-langkah ini perlu untuk memperbaharui talenta yang sudah ada.

Adapun Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) menganggarkan Rp 38 miliar untuk mencetak 20 ribu teknisi atau programmer pada 2019. Kominfo bersama Kementerian Ekonomi Digital Prancis juga menandatangani perjanjian kerja sama untuk membangun sekolah pemrograman gratis bernama L'Academie, khusus di bidang digital ekonomi.

Reporter: Desy Setyowati