Baru Setahun, Sebagian Peta Jalan E-Commerce Sudah Tak Relevan

Arief Kamaludin | KATADATA
Penulis: Desy Setyowati
Editor: Pingit Aria
3/10/2018, 18.30 WIB

Setahun sudah pemerintah mengimplementasikan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 74 Tahun 2017 tentang peta jalan  (road map) sistem perdagangan nasional berbasis elektronik atau e-commerce. Setelah dievaluasi, pemerintah menyadari ada beberapa bagian yang sudah tidak relevan.

Deputi Bidang Koordinasi Ekonomi Kreatif, Kewirausahaan, dan Daya Saing Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah (UKM) Kemnterian Koordinator Bidang Perekonomian Rudy Salahuddin tidak spesifik menjelaskan kebijakan mana saja yang sudah tidak relevan. Sementara kebijakan lainnya menghadapi beberapa hambatan.

"Keluaran yang sudah ada tidak semua kami penuhi, karena di tengah jalan banyak isu baru yang muncul. Maka ada empat usulan baru," ujar Rudy di Hotel Borobudur, Jakarta, Rabu (3/10).

Keempat kebijakan baru tersebut di antaranya: perlindungan data; transaksi lintas batas (cross border); barang dan jasa digital; serta penguatan daya saing produk local dan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM).

Ia menyampaikan, ada sebagian kebijakan berbentuk outcome yang tidak bisa langsung dieksekusi seperti kurikulum e-commerce. "Keluaran Perpres langsung mengamanatkan pada implementasi kurikulum, sementara itu belum tersusun," kata dia. Selain itu, kualifikasi tenaga kerjanya sulit dibuat strukturnya dan kekurangan tenaga pengajar.

(Baca juga: Brand Elektronik Makin Gencar Pasarkan Produk Lewat E-Commerce)

Berdasarkan evaluasi internal, pemahaman Kementerian dan Lembaga (K/L) belum sama terkait implementasi Perpres Nomor 74 Tahun 2017. Alhasil, sulit membuat kesepakatan bentuk akhir keluaran dan memastikan implementasinya bisa berjalan.

Selain itu, Perpres bersifat jangka pendek atau berupa daftar yang harus dilakukan. "Belum ada strategi makro, sehingga tidak terlihat posisi awal, tahapan, dan tujuan akhirnya," ujarnya.

Kendati, pemerintah bakal mengeluarkan aturan-aturan baru yang memuat empat usulan tadi. Salah satunya adalah Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) e-commerce. RPP ini sudah dibahas sejak 2017 dan baru dimatangkan Agustus lalu. "Sekarang (RPP) sudah di Sekretariat Negara Republik Indonesia (Setneg). Sebelum akhir tahun sudah dirilis," kata dia.

Aturan ini juga memuat empat usulan tadi. Pertama, persamaan perlakuan baik antara pelaku usaha di dalam dan luar negeri; formal dan informal; serta, offline dan online. Termasuk di dalamnya membahas mengenai perpajakan e-commerce.

Kedua, penguatan daya saing UMKM dan produk lokal. Caranya, dengan mengutamakan penjualan produk lokal di setiap platform; meningkatkan kapasitas pelaku lokal; dan, pemberian fasilitas lainnya kepada pelaku usaha dalam negeri. Ketiga, seputar data. Pelaku wajib menyampaikan data secara berkala dan sewaktu-waktu. Serta, mekanisme pertukaran data antar K/L dan otoritas lain.

Keempat, perlindungan konsumen yang meliputi pelaku usaha wajib menyediakan layanan pengaduan bagi konsumen. Konsumen dapat melaporkan kerugian terkait e-commerce kepada
kementerian terkait yang harus ditindaklanjuti oleh pelaku usaha. Apabila tidak ditindaklanjuti, pelaku usaha akan masuk dalam Daftar Prioritas Pengawasan oleh Menteri.

(Baca juga: Kaum Milenial Dominasi Pembelian Reksa Dana di E-Commerce)

Adapun RPP e-commerce memuat 19 bab dan 82 pasal, dengan tiga pokok bahasan. Pertama, pengaturan umum yang terdiri dari ketentuan umum; lingkup pengaturan dan prinsip; pihak yang melakukan; persyaratan; penyelenggaran; pelaku usaha e-commerce; dan bukti.

Kedua, bisnis proses yang memuat iklan elektronik; penawaran, penerimaan, dan konfirmasi elektronik; kontrak elektronik; perlindungan terhadap data pribadi; pembayaran; pengiriman barang dan jasa; penukaran dan atau pembatalan pembelian. Terakhir, memuat ketentuan lainnya seperti penyelesaian sengketa; pembinaan dan pengawasan; sanksi; ketentuan perubahan dan penutup.

Reporter: Desy Setyowati