Kecemasan di Balik Upaya Menduetkan Jeff Bezos - Jack Ma di Indonesia

Arief Kamaludin|KATADATA
Konferensi teknologi dan e-commerce. Pengangkatan Jack Ma atau Jeff Bezos dikhawatirkan memicu konflik kepentingan.
Editor: Yuliawati
29/9/2017, 12.26 WIB

Selain Jack Ma, Pemerintah Indonesia berencana menggaet lagi seorang entreprenuer digital dunia sebagai penasihat ekonomi digital. Kabarnya, pendiri Amazon Jeff Bezos sedang dilobi untuk ikut masuk dalam steering commitee peta jalan pengembangan e-commerce Indonesia.

Pengusaha besar toko online itu diharapkan dapat memberikan masukan yang berharga dalam penyusunan rencana pengembangan ekonomi digital di Indonesia. Berduet dengan Jack Ma, Bezos diharapkan berbagi pengalaman suksesnya dalam bisnis digital.

Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Rudiantara sebelumnya membenarkan rencana tersebut. Namun, ia menolak mengkonfirmasi apakah Jeff Bezos yang akan menjadi penasihat pemerintah. "Sedang diproses. Pokoknya kelas dunia. Tunggulah," ujar Rudiantara.

Tahun lalu, pemerintah mengangkat Jack Ma, pendiri Alibaba Group, sebagai penasihat pengembangan e-commerce. Menurut Rudiantara, Indonesia membutuhkan masukan, baik dari stakeholder dalam negeri maupun luar negeri, dalam pengembangan perdagangan online. Keterlibatan perintis e-commerce internasional diharapkan bisa mendorong Indonesia masuk dalam lansekap industri digital global.

Namun, pelaku industri digital sebenarnya mengkhawatirkan serbuan akuisisi dan investasi asing di Indonesia. Ada kecemasan, pengangkatan penasihat asing itu menjadi simbol pemberian karpet merah terhadap serbuan akuisisi perusahaan asing ke industri digital Indonesia.

 (Baca: Pengusaha Tunggu Kiprah Jack Ma Sebagai Penasihat e-Commerce)

Direktur Eksekutif Indonesia ICT Institute Heru Sutadi misalnya, menilai pengangkatan Jack Ma bisa menciptakan konflik kepentingan. Sebab Alibaba telah menjadi pemilik Lazada dan Tokopedia, dua e-commerce besar lokal. Ia khawatir, pengangkatan Jack Ma atau penasihat asing mendorong serbuan pemodal luar negeri terhadap industri digital lokal.

Akusisi perusahaan Tiongkok saat ini menyasar perusahaan digital lokal yang sudah sukses. Alibaba sebagai contoh, sukses mengakuisisi Lazada dan Tokopedia, dua e-commerce besar lokal. Tokopedia kabarnya juga tengah diincar oleh JD.com, salah satu raksasa e-commerce Tiongkok.

Yang terbaru, Tencent Holdings Ltd, juga salah satu raksasa Tiongkok, dikabarkan menanamkan investasi ke Go-Jek antara US$ 100 juta hingga US$ 150 juta. Dikonversi ke rupiah, jumlah itu setara Rp 1,3 triliun hingga Rp 2 triliun.

Pasar digital Tanah Air tidak cuma diserbu dari Tiongkok, tetapi juga dari Amerika. Amazon misalnya, dikabarkan sudah siap menginvestasikan US$ 600 juta untuk masuk pasar e-commerce Indonesia.

 (Baca: Jack Ma Jadi Penasihat, Menkominfo Minta e-Commerce Tak Perlu Resah)

Menurut Andi S. Boediman, Managing Partner Ideosource, pemilik Bhinneka, pemerintah seharusnya mengeluarkan aturan terkait industri e-commerce. Sebab, saat ini pasar online Indonesia terbuka lebar bagi pemain asing. Apabila kondisi ini terus dibiarkan, maka para pemain lokal di industri e-commerce akan habis.

Ia berharap pemerintah bisa menghasilkan regulasi yang mendukung iklim usaha yang adil, seperti langkah beberapa negara Eropa yang kini mulai mengincar pajak dari para pemain internet besar, seperti Google dan Facebook.

Wakil Ketua Umum Bidang Kebijakan Publik Asosiasi e-Commerce Indonesia (idEA) Budi Gandasoebrata sebelumnya menyatakan, aspek regulasi memang seharusnya diarahkan untuk menghasilkan kesetaraan aturan terhadap pemain di Indonesia dan luar negeri. Sebab, sebagai salah satu negara dengan penduduk terbesar dunia dan kelas menengah yang terus tumbuh, Indonesia menjadi pasar empuk bagi perusahaan e-commerce asing. Nilai transaksi e-commerce di Indonesia tahun lalu mencapai Rp 69,8 triliun.

Tapi, Menteri Rudiantara menganggap, konsep kedaulatan harus didefinisikan ulang dalam dunia digital. Apalagi dunia digital memang memiliki karakter atau aspek yang lintas batas dan lintas kedaulatan.

Adapun, Direktur Pengaturan, Perizinan, dan Pengawasan Fintech Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Hendrikus Passagi melihat, tidak semua kebutuhan permodalan bisnis digital bisa dipenuhi pemodal domestik. Ini penting terutama untuk industri financial technology yang membutuhkan modal besar. Nilai transaksi fintech di Indonesia tahun lalu Rp 200 triliun.