Layanan teknologi finansial (fintech) besutan Gojek, GoPay mencatat peningkatan transaksi secara signifikan selama masa pandemi corona, baik di dalam maupun luar platform perusahaan. Gojek pun mengungkap tiga strategi yang dilakukan perusahaan untuk menjaga keamanan data penggunanya.
SVP IT Governance, Risk & Compliance GoPay Genesha Saputra mengatakan, strategi pertama, perusahaan kerap melakukan edukasi melalui kampanye #AmanBersamaGojek yang dimulai sejak Februari lalu.
Melalui kampanye ini, Gojek mengedukasi masyarakat untuk lebih waspada dalam melakukan transaksi online termasuk melindungi data pribadi.
(Baca: Bayar Zakat via Bukalapak, Shopee, Gojek Naik hingga 100% saat Ramadan)
"Kami mensosialisasikan JAGA untuk para konsumen, yang merupakan kepanjangan dari: Jangan bayar di luar aplikasi, Amankan data Pribadi, Gunakan PIN, dan Adukan hal mencurigakan ke layanan pelanggan atau pihak berwajib," ujar Genesha dalam video conference, Kamis (28/5).
Kedua, dari sisi teknologi, perushaan telah menerapkan sistem SHIELD atau teknologi perlindung keamanan melalui penerapan verifikasi PIN serta intervensi obrolan (chat) berbasis artificial intelligence (AI). Sistem ini bertujuan untuk mencegah aksi penipuan bermodus manipulasi psikologis.
"Tak hanya itu, kami juga merekrut ahli kelas dunia di berbagai domain keamanan siber untuk memperkuat sistem keamanan platform kami," ujar Genesha.
Ketiga, perusahaan dari sisi proteksi menerapkan program 'Jaminan Saldo GoPay Kembali' untuk pengguna yang menjadi korban kejahatan di platformnya. "Namun, program ini berlaku untuk pengguna GoPay Plus dan telah memenuhi syarat verifikasi," ujarnya.
Sebagai informasi, peningkatan transaksi di dalam platfornya terjadi di layanan Gofood, Gosend, dan Gomart. Sedangkan, peningkatan transaksi di luar aplikasi terjadi di layanan e-commerce, pembelian item gim, dan fitur donasi dan pembayaran Zakat.
Transaksi kedua platform menurutnya cukup signifikan. Hanya, dia enggan merinci volume peningkatan tersebut.
Data Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) mencatat, penggunaan internet meningkat hingga 40% selama pandemi corona. Adapun akses yang semula didominasi dari kawasan perkantoran kini didominasi dari kawasan pemukiman.
Di saat yang sama, Centre for Digital Society (CfDS) Universitas Gadjah Mada (UGM) juga mencatat kejahatan siber termasuk penipuan rekayasa sosial juga meningkat terutama menyasar pembelanjaan barang medis dan kebutuhan sehari-hari.
(Baca: Data Pengguna Bocor, E-commerce Disarankan Adaptasi Blockchain)
Adjunct Researcher CfDS Tony Seno Hartono mengatakan, pengetahuan yang minim mengenai keamanan daring, memperbesar potensi kejahatan penipuan berteknik memanipulasi psikologis alias magis. Teknik ini, menurut dia, sifatnya sederhana, tidak perlu meretas sistem namun dampaknya luar biasa.
"Kami mengamati selama masa pandemi penipuan jenis ini tetap ada dan cenderung meningkat," ujar dia.
Ia mencontohkan beberapa kasus yang terjadi selama pandemi, seperti pada Februari lalu salah satu konsumen mengalami kerugian puluhan juta setelah ditipu oleh penjual e-commerce. Lalu, seorang pengguna layanan pesan antar makanan platform ride hailing tertipu Rp 5,5 juta.
Pada Maret lalu, sejumlah warga Kediri tertipu oleh penjual masker gadungan yang menjual masker lewat media sosial. Konsumen ini rata-rata merugi Rp 9 juta sampai 13 juta. Pada April lalu, konsumen sebuah e-commerce kehilangan uang oleh penipu yang mengaku sebagai penjual obat virus corona.
Terakhir, bulan ini sejumlah calon mitra mengaku mendapatkan percobaan penipuan dari oknum mengatasnamakan perwakilan platfrom digital.