Riset: 63,4% Pelaku UMKM Pesimistis Bisnis Tumbuh Tahun Ini

ANTARA FOTO/Irwansyah Putra/wsj
Pekerja menata berbagai hasil produksi kerajinan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) rumah tangga dan Industri Kecil Menengah (IKM) yang dipasarkan pada bazar UMK-IKM dan pasar murah Asia Mart Center di Banda Aceh, Aceh, Selasa (19/1/2021).
20/1/2021, 17.25 WIB

Riset startup teknologi finansial pembiayaan (fintech lending) KoinWorks menunjukkan, 63,4% Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) pesimistis bisnis dapat tumbuh tahun ini, meski sudah ada vaksin virus corona. Salah satu alasannya, sulit berinovasi dan mendigitalkan usaha.

Sebanyak 15,1% dari 1.188 UMKM yang disurvei optimistis bisnisnya tumbuh tahun ini. Lalu, 1,5% yakin usahanya melesat meski masih ada pandemi corona. Kemudian, 20% memperkirakan bisnis berjalan normal.

Namun, 63,4% pesimistis terhadap bisnisnya di masa pandemi Covid-19. Secara rinci, 42% memprediksi pendapatan berkurang dan 21,4% sangat menurun. Hasil riset ini berdasarkan survei selama Oktober-November 2020.

Riset bertajuk 'Digital SME Confidence Report' itu menggunakan metode penggabungan kuantitatif dan kualitatif dengan jumlah responden sebanyak 1.188 UMKM. Riset dilakukan pada Oktober hingga November 2020.

CMO KoinWorks Jonathan Bryan mengatakan, UMKM yang pesimistis karena tidak bisa berinovasi, termasuk mendigitalisasi bisnis. Alhasil, mereka kesulitan mencari peluang usaha di saat pagebluk virus corona.

"Bisnis yang tidak bisa berinovasi akan sulit beradaptasi," kata Jonathan dalam acara diskusi Online Media KOINversation, Rabu (20/1). Sedangkan, "orang beralih ke belanja online. Membeli kebutuhan pokok melalui aplikasi.”

Kementerian Koperasi dan UKM mencatat, baru 16% dari total 64 juta lebih UMKM yang masuk ekosistem digital per Oktober 2020.

Jonathan mengatakan, ada tiga penyebab UMKM sulit berinovasi. Pertama, infrastruktur digital yang belum merata. Kedua, persoalan pada minat UMKM untuk mendigitalkan bisnis.

Terakhir, kurangnya edukasi. Di satu sisi, ada banyak saluran yang dapat dimanfaatkan oleh pelaku usaha untuk menjangkau konsumen. Contohnya, aplikasi on-demand seperti Gojek dan Grab, e-commerce hingga media sosial.

platform digital (apfcanada)

Hasil riset KoinWorks tersebut selaras dengan studi Katadata Insight Center (KIC) medio tahun lalu. Berdasarkan survei KIC terhadap 206 responden, 15,5% UMKM di Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Jabodetabek) tidak memiliki ponsel pintar (smartphone).

Riset mencatat, 84% UMKM menggunakan ponsel dan 42,7% memakai laptop dengan koneksi internet untuk berjualan. Sedangkan 9,2% memakai laptop tanpa internet, dan 7,3% tidak mempunyai perangkat.

"Di Jakarta saja masih ada UMKM yang mempunyai smartphone, tetapi tidak memiliki pulsa. Tanpa pulsa, tentu mereka tidak bisa mengakses internet dan berjualan online," kata Direktur Riset KIC Mulya Amri dalam webinar bertajuk 'Digitalisasi UMKM: Tantangan dan Peluang', Agustus tahun lalu (11/8/2020).

Padahal, pelaku usaha memanfaatkan gawai dan internet untuk berbagai kegiatan operasional, sebagaimana tecermin pada Databoks di bawah ini:

Berdasarkan riset Asia Pacific MSME Trade Coalition (AMTC), digitalisasi dapat menghemat biaya ekspor pelaku UMKM di India, Tiongkok, Korea Selatan dan Thailand hingga US$ 339 Miliar. Selain itu, teknologi digital menghemat waktu ekspor 29% dan mereduksi biaya hingga 82%.

Bain juga memperkirakan, ekonomi Asia Tenggara bisa meningkat US$ 1 triliun pada 2025, jika pelaku usaha merambah ekosistem digital. Ini tertuang dalam laporan bertajuk ‘Advancing Towards ASEAN Digital Integration’ pada 2018.

"UMKM Indonesia akan memetik keuntungan besar apabila terintegrasi secara penuh dengan teknologi digital," ujar Executive Director Indonesia Services Dialogue (ISD) Devi Ariyani dikutip dari siaran pers, tahun lalu (19/10).

Kementerian Koperasi dan UKM juga mencatat, pada saat pandemi 2020, penjualan di e-commerce meningkat 26% atau mencapai 3,1 juta transaksi per hari. 

Reporter: Fahmi Ahmad Burhan