Menteri Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah atau Menkop UKM Teten Masduki menyinggung soal Project S TikTok Shop. Menurutnya proyek ini bisa menekan UMKM.
Project S TikTok Shop pertama kali dilaporkan oleh Financial Times pada akhir bulan lalu. Pengguna di Inggris mulai melihat fitur belanja baru di aplikasi TikTok yang diberi nama ‘Trendy Beat’.
Menteri Teten mengatakan, pemerintah melihat fenomena project S TikTok Shop di Inggris akan merugikan pelaku UMKM jika masuk ke Indonesia. Project S TikTok Shop dicurigai menjadi cara perusahaan mengoleksi data produk yang laris manis di suatu negara, untuk kemudian diproduksi di Cina.
“Di Inggris, 67% algoritme TikTok bisa mengubah kebiasaan konsumen di sana dari yang tidak ingin belanja jadi berbelanja. Ini bisa mengarahkan produk yang mereka bawa dari Cina dan bisa sangat murah sekali,” ujar Teten di Kantor Kemenkop UKM, di Jakarta, Rabu (12/7).
Teten menilai, TikTok Shop menyatukan media sosial, crossborder commerce dan retail online. Dari 21 juta pelaku UMKM yang terhubung ke ekosistem digital, mayoritas yang dijual secara online adalah produk dari Cina.
Ia khawatir, jika hal itu tidak segera ditangani dengan kebijakan tepat, maka pasar e-commerce Tanah Air akan didominasi produk Cina.
Teten menegaskan bahwa ia bukan anti-produk Cina maupun luar negeri. Namun, sebagai upaya untuk melindungi UMKM, produk dari luar negeri harus mengikuti mekanisme impor produk termasuk melengkapi izin edar dari BPOM, memenuhi SNI hingga sertifikasi halal.
“Jika retail online masih diperbolehkan menjual produk impor langsung ke konsumen, UMKM pasti tidak bisa bersaing. Sebab, UMKM dalam negeri jika berjualan harus mempunyai izin edar dari BPOM, sertifikasi halal, dan SNI. Mereka enak langsung,” katanya.
Untuk mengatasi ancaman tersebut, Teten mendesak Kementerian Perdagangan atau Kemendag merevisi Permendag Nomor 50/2020 yang saat ini baru mengatur perdagangan di e-commerce, bukan social commerce.
Ia mengaku revisi aturan tersebut sudah diwacanakan sejak tahun lalu, namun hingga kini masih belum terbit.
“Itu bukan hanya untuk TikTok, untuk seluruh e-commerce lintas-batas alias cross border commerce. Jadi jangan kemudian saya dianggap anti-TikTok, bukan, saya hanya mau melindungi produk UMKM supaya ada playing field yang sama dengan produk dari luar, jangan kemudian mereka diberi kemudahan,” ujar Teten.
“Sekarang e-commerce klaim produk yang dijual bukan dari luar negeri. Kata siapa? Ketika saya mau buat kebijakan subsidi untuk UMKM di platform online saat pandemi Covid-19, semua pelaku usaha tidak bisa memisahkan mana produk UMKM dan yang impor. Mereka hanya bisa memastikan bahwa yang berjualan adalah UMKM dan mereka tidak bisa pastikan produknya. Jadi jangan bohongi saya,” kata Teten.
Project S TikTok Shop Adalah
Katadata.co.id mengonfirmasi kepada TikTok Indonesia apakah Project S akan hadir di Indonesia. Perwakilan TikTok Indonesia menyampaikan bahwa perusahaan selalu mencari cara baru untuk meningkatkan pengalaman komunitas TikTok.
“Saat ini, kami dalam tahap awal bereksperimen dengan fitur belanja baru,” katanya kepada Katadata.co.id, Senin (26/6).
Fitur itu belum tersedia di Indonesia saat ini. Selain itu, tidak ada informasi bahwa fitur ini akan diluncurkan di Tanah Air dalam waktu dekat.
Financial Times melaporkan, dalam beberapa minggu terakhir, pengguna di Inggris mulai melihat fitur belanja baru di aplikasi TikTok yang diberi nama ‘Trendy Beat’. Produk yang tersedia yakni yang sedang populer.
Di Inggris, produk populer yang dijual di ‘Trendy Beat’ TikTok yakni alat pembersih telinga dan penyikat bulu hewan peliharaan dari pakaian.
“Produk-produk yang dipajang di fitur ‘Trendy Beat’ TikTok dikirim langsung dari Cina. Sementara penjualnya terdaftar di Singapura, tetapi tercatat dimiliki oleh ByteDance,” kata sumber dikutip dari Financial Times, Kamis sore (22/6).
ByteDance merupakan induk TikTok. Sedangkan nama penjual di fitur ‘Trendy Beat’ yakni Seitu.
Seitu terhubung dengan If Yooou, yakni bisnis ritel milik ByteDance.
Kepala Kepala Anti-penipuan dan Keamanan E-commerce Global TikTok di Singapura Lim Wilfred Halim terdaftar sebagai direktur Seitu.
Skema penjualan tersebut mirip dengan Amazon, yani mempromosikan produk sendiri yang populer.
Empat sumber Financial Times mengatakan, vendor lain bisa menjual barang melalui TikTok Shop, tetapi mengambil sedikit komisi. Sementara ByteDance mengambil semua hasil dari penjualan di fitur ‘Trendy Beat’ di TikTok.
“Upaya untuk mulai menjual produknya sendiri dikenal secara internal sebagai ‘Project S’,” kata enam orang yang akrab dengan musyawarah internal dikutip dari Financial Times.
Mereka menambahkan ByteDance sedang membangun unit ritel online untuk menantang grup seperti merek fast fashion Shein dan aplikasi milik Pinduoduo yakni Temu.
Project S dipimpin oleh Bob Kang, kepala ecommerce ByteDance. “Ia baru-baru ini melakukan perjalanan dari Shanghai untuk mengoordinasikan upaya di kantor TikTok di London,” ujar dua karyawan.
Namun TikTok mengatakan Kang berada di Inggris karena sejumlah alasan dan melapor kepada kepala eksekutif aplikasi Shou Zi Chew.
“Bob Kang terobsesi dengan Temu dan meniru kesuksesannya. Menurutnya mereka dapat melakukan ini dengan memasukkan diri mereka ke dalam proses pasokan dan penjualan,” kata orang lain yang mengetahui strategi tersebut di Inggris.
Project S memanfaatkan pengetahuan TikTok tentang produk viral di aplikasi. “Ini memungkinkan ByteDance memperoleh atau membuat barang-barang itu sendiri,” ujar sumber yang mengetahui rencana tersebut.
Lalu kemudian, “perusahaan akan gencar mempromosikan produk yang ada di ‘Trendy Beat’ ketimbang barang yang dijual oleh pesaing di aplikasi TikTok,” kata sejumlah sumber.
Dua karyawan ByteDance juga mengatakan, perusahaan merekrut karyawan dari Shein untuk menggenjot bisnis e-commerce.
Financial Times melaporkan, induk TikTok sedang mencari pendapatan baru yang dapat memperbesar valuasi menjadi US$ 300 miliar. Jika ini terwujud, maka ByteDance akan menjadi startup swasta paling bernilai di dunia.