Pemerintah resmi melarang social commerce seperti TikTok Shop memfasilitasi transaksi jual beli. Bagaimana TikTok akhirnya dilarang menyediakan layanan media sosial sekaligus e-commerce?
Awalnya pemerintah menyoroti pemberitaan tentang Project S. Pada Juni, Financial Times melaporkan tentang project S TikTok di Inggris. Media sosial asal Cina ini meluncurkan fitur baru yang diberi nama ‘Trendy Beat’ yang menjual produk populer.
Produk-produk yang dipajang di fitur ‘Trendy Beat’ TikTok disebut dikirim langsung dari Cina. Sementara penjualnya terdaftar di Singapura, tetapi tercatat dimiliki oleh induk usaha yakni ByteDance.
Melalui Project S TikTok Shop, TikTok diduga mampu mengetahui berbagai data ragam produk yang banyak diminati atau dibutuhkan konsumen. Kemudian mesin algoritme disebut bisa mengarahkan konsumen untuk membeli produk milik perusahaan.
Pada Juli, Menteri Koperasi dan UKM Teten Masduki menyoroti Project S TikTok. Ia khawatir proyek ini membuat UMKM di Indonesia semakin sulit bersaing, karena harga barang asal Cina jauh lebih murah dan di bawah Harga Pokok Penjualan atau HPP.
Kemudian Presiden Joko Widodo atau Jokowi meminta Menteri Komunikasi dan Informatika alias Kominfo yang baru dilantik pada medio Juli, yakni Budi Arie Setiadi untuk mengkaji perubahan e-commerce yang cepat.
Setelah itu, Presiden Jokowi beberapa kali membahas Project S dengan sejumlah menteri. Pada akhir Juli, Kementerian Perdagangan atau Kemendag mengkaji revisi Peraturan Menteri Perdagangan alias Permendag Nomor 50 Tahun 2020.
Saat itu, kebijakan yang dikaji yakni melarang produk impor di bawah US$ 100 dijual di e-commerce. Selain itu, Kemendag mengkaji positive list yakni daftar produk impor yang bisa dijual di marketplace.
Namun kemudian publik menyoroti pedagang Tanah Abang yang sepi pembeli. Para pedagang itu sudah mencoba untuk berjualan online, bahkan melalui fitur live streaming. Namun siaran langsung mereka di platform e-commerce, sepi penonton.
Menteri Koperasi dan UKM Teten Masduki menilai UMKM Indonesia tak didukung oleh rantai pasok yang mumpuni dan berbasis teknologi.
Padahal seingatnya, Presiden Joko Widodo atau Jokowi sudah lama mengingatkan kementerian dan swasta untuk mengadopsi teknologi seperti kecerdasan buatan alias artificial intelligence (AI) dan Internet of Things (IoT) guna menggenjot produksi.
“Tidak ada yang mewujudkan bagaimana teknologi digital diaplikasikan ke sistem produksi nasional, industri manufaktur, pertanian, agro maritim, kesehatan dan lainnya,” ujar Teten kepada Katadata.co.id, dua pekan lalu (16/9).
Alhasil, produksi nasional kalah dibandingkan produk impor yang lebih murah karena produksinya lebih efisien dan berkualitas.
“Akibatnya transformasi digital di Indonesia tidak melahirkan ekonomi baru, hanya membunuh ekonomi lama. Kue ekonomi tidak bertambah, tapi faktor pembaginya semakin banyak,” Teten menambahkan.
Ia mencontohkan pasar offline seperti Tanah Abang. Pedagang di pasar ini ikut berjualan online, tetapi tetap kalah dengan produk impor. “Hampir 80% penjual di platform online menjual produk impor, terutama dari Cina,” ujar dia.
Terlebih lagi, perekonomian Cina sedang melemah. Ia menduga produksi barang konsumsi yang kelebihan pasokan di Tiongkok, mulai dijual ke ASEAN.
“Indonesia pasarnya besar dan hampir separuh populasi masuk ke e-commerce,” kata Teten. Belum lagi, tarif bea masuk dinilai terlalu murah.
“Babak belur kita,” Teten menambahkan. “Jangankan UMKM, produk industri manufaktur pun tidak bisa bersaing, terutama produk garmen, kosmetik, sepatu olahraga, farmasi dan lainnya.”
Kurang dari dua pekan setelah itu, Kemendag mengumumkan social commerce seperti TikTok Shop, YouTube Shop, dan lainnya memfasilitasi transaksi juali beli. Mereka hanya diperbolehkan mempromosikan produk.
Hal itu diatur dalam revisi Permendag Nomor 50 Tahun 2020. Regulasi ini mengatur mekanisme perdagangan online melalui aplikasi media sosial atau social e-commerce.
Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan atau Zulhas mengatakan, aturan itu juga mewajibkan pemisahan antara fungsi platform e-commerce dan media sosial.
Revisi Permendag 50 Tahun 2020 juga mengatur mekanisme sanksi bagi platform e-commerce yang masih terintegrasi dengan layanan media sosial. Penalti yang dibebankan kepada pelanggar dilakukan secara bertahap melalui peringatan hingga penutupan platform media sosial.
Itu artinya, penjual tetap bisa melakukan pemasaran termasuk live streaming di TikTok. Namun tautan atau link produk yang disematkan berasal dari platform lain seperti e-commerce Shopee, Tokopedia, Bukalapak hingga Lazada maupun website milik toko sendiri.
Kecuali nantinya TikTok mengajukan izin untuk menyediakan platform e-commerce yang terpisah dari aplikasi media sosial. Jika ini terwujud, maka penjual bisa menyematkan link produk dari e-commerce milik TikTok.
Setelah pengumuman tersebut, TikTok mengatakan kebanjiran keluhan dari penjual. “Kami menerima banyak keluhan dari penjual lokal yang meminta kejelasan terhadap peraturan baru," kata perwakilan TikTok Indonesia kepada Katadata.co.id, Senin malam (25/9).
Ia menyampaikan, social commerce lahir sebagai solusi bagi masalah yang dihadapi oleh UMKM. Caranya, membantu mereka berkolaborasi dengan kreator lokal guna meningkatkan traffic ke toko online para UMKM.
Oleh sebab itu, TikTok berharap pemerintah Indonesia dapat mempertimbangkan dampak kebijakan baru tersebut terhadap kehidupan enam juta penjual lokal dan hampir tujuh juta kreator affiliate yang menggunakan TikTok Shop.
Meski begitu, TikTok menyatakan perusahaan menghormati peraturan pemerintah Indonesia.