Sampai Kapan Strategi 'Bakar Uang' Fintech Pembayaran Digital?

Ajeng Dinar Ulfiana | KATADATA
CEO DANA, Vincent Henry Iswaratioso saat memberikan paparan di acara Katadata Forum dengan tema Menakar Gelombang Besar Transaksi Digital di Jakarta, Kamis (24/10).
Editor: Agustiyanti
25/10/2019, 06.15 WIB

Strategi promosi dalam bentuk subsidi pasar atau ‘bakar uang’ masih kerap dilakukan oleh sejumlah pemain fintech di bidang sistem pembayaran. Perusahaan saling bersaing dengan menawarkan berbagai potongan harga guna menarik minat masyarakat menggunakan platform mereka dan meningkatkan penetrasi pasar.

Lantas, sampai kapan strategi itu bakal berlanjut?

CEO DANA Vincent Henry Iswara menjelaskan, dibutuhkan upaya yang cukup besar untuk memperluas ekosistem pembayaran digital. Selama tiga tahun terakhir, menurut dia,  hampir seluruh fintech  di bidang sistem pembayaran melakukan strategi 'bakar uang' dalam promosi guna mengedukasi masyarakat agar menggunakan pembayaran digital. 

"(Mendorong edukasi) ini butuh waktu, usaha, dan uang untuk mengakselerasinya. Nah, usaha melalui spend money (bakar uang) ini benar-benar ampuh untuk mengedukasi mereka," ujar Vincent dalam acara Katadata Forum: Menakar Gelombang Besar Transaksi Digital di Jakarta, Kamis (24/10).

Selain mengedukasi masyarakat, menurut dia, strategi tersebut diperlukan untuk meningkatkan kepercayaan masyarakat dalam menggunakan platform mereka. 

Di sisi lain, ia juga mendukung lebih banyak pemain pada industri pembayaran digital. Dengan harapan, masyarakat akan semakin terbiasa menggunakan pembayaran nontunai. Adaupun saat ini, tingkat penetrasi pembayaran digital (digital payment) di Tanah Air sebenarnya juga yang masih sangat kecil, yakni baru mencapai 7%.

(Baca: Menakar Peluang GoPay, DANA, OVO, dan LinkAja Konsolidasi)

Meski fintech  gencar melakukan subsidi pasar, Head of Government Relations and Policy GoPay Brigitta Ratih Esthi Aryanti mengungkapkan, baru sekitar 20% masyarakat yang memilih menggunakan platform digital milik fintech di banding platform milik bank, perusahaan telekomunikasi, maupun e-commere. Hal ini terungkap dalam riset Morgan Stanley berjudul Indonesia Banks: Fintech terhadap 1.582 responden pada awal tahun 2019.

Oleh karena itu, menurut dia,  perusahaan masih membutuhkan usaha yang besar untuk mendorong penetrasi pembayaran digital tersebut. Terlebih, masyarakat Indonesia juga memiliki kebiasaan menggunakan uang tunai selama puluhan tahun.

Ia pun menyebut strategi promosi dalam bentuk diskon atau cashback cukup ampuh dalam membangun kepercayaan masyarakat di era digital ini. Selain itu, senada dengan Vincent, ia menyebut strategi tersebut merupakan bagian dari edukasi kepada masyarakat. 

"Lantas, sampai kapan promosi atau cashback itu masih ada? Ya, selama dia (promosi) masih ada," ujarnya.

(Baca: Fokus Pertumbuhan Bisnis, Kapan Gojek Berhenti ‘Bakar Uang’?)

Menurut dia, strategi tersebut akan terus diterapkan hingga kebiasaan masyarakat menggunakan transaksi nontunai terbentuk dan membentuk masyarakat tanpa uang tunai (cashless society). 

Masyarakat yang lebih dulu tertarik menggunakan platform digital karena diskon diharapkan dapat merasakan pengalaman kemudahan dan keamanan transaksi nontunai yang disediakan fintech. ."Jadi, kebiasaan untuk menularkan (transaksi non-tunai) ini ke orang lain memang butuh usaha besar," jelas dia.

Sementara itu, Head of Brand and Marketing Communication Group LinkAja Ignatius Untung mengatakan, industri digital memang membutuhkan biaya promosi yang cukup tinggi. Strategi ini diperlukan untuk memangkas waktu yang dibutuhkan dalam memperkenalkan sistem pembayaran digital kepada masyarakat.

"Yang dikhawatirkan, kalau ini berlebihan apakah ini cara yang efektif? Adakah resiko atau dampak dari promosi yang sudah luar bisasa 'gila' ini?" ungkap dia. 

(Baca: Nadiem ke Istana, Asosiasi E-commerce Berharap ‘Bakar Uang’ Diatur)

Menurut Ignatius,  sejumlah hipotesis bahkan menunjukkan bahwa kehadiran promosi turut membantu kelangsungan beberapa merchant kecil. Penjualan mereka meningkat dan terbantu oleh tawaran promosi. Padahal, di sisi lain, merchant-merchant besar tengah mengalami penurunan penjualan.

 "Mereka bisa bertahan. Tapi apakah ini tidak berbahaya? Karena harus diakui bahwa nantinya promosi ini juga harus berakhir," ungkap dia. 

Sebelumnya, Direktur of Enterprise Payment OVO Harianto Gunawan mengatakan, ada dua hal yang membuat konsumen mau menggunakan layanan pembayaran yakni kenyamanan dan kepercayaan. “Kami membangun kepercayaan,” kata dia dalam acara Fintech Summit 2019 di JCC, Jakarta, Selasa (24/9).

Saat ini, menurut dia, masyoritas penduduk di Asia Tenggara masih menggunakan tunai saat bertransaksi. Di Indonesia, penetrasi layanan pembayaran secara digital bahkan kurang dari 10%. “Hal yang diperlukan adalah lewat insentif,” kata dia.

Meski begitu, ia melihat bahwa pelaku fintech pembayaran dan regulator perlu membangun infrastruktur digital. Hal ini penting untuk mendorong konsumen supaya mau menggunakan layanan pembayaran digital. “Itu yang kami utamakan,” kata dia.

Berdasarkan data Bank Indonesia (BI), terdapat 38 dompet digital (e-wallet) dengan lisensi resmi. Riset iPrice dan App Annie menyebutkan dompet digital milik Gojek memiliki pengguna aktif bulanan terbesar di Indonesia sejak kuartal IV 2017 seperti tergambar dalam databooks di bawah ini.

Reporter: Cindy Mutia Annur