Ketimpangan infrastruktur digital masih menjadi kendala di Indonesia sehingga membutuhkan peran perusahaan teknologi finansial (fintech). Menteri Keuangan periode 2013-2014 Chatib Basri menyebut fintech harus gencar berkolaborasi dengan ekosistem teknologi lain, perbankan, maupun pemerintah agar layanannya semakin masif digunakan di daerah.
Chatib menyebut penetrasi fintech tak merata padahal kemampuan teknologinya dapat membantu pemulihan ekonomi nasional. Penetrasi yang belum merata itu menurut Chatib karena yang memanfaatkan teknologi fintech hanya wilayah yang mempunyai infrastruktur baik saja.
"Satu hal kunci pemulihan ekonomi yaitu dengan teknologi, tapi ini mahal dan tidak tersedia bagi semua orang," ujar Chatib dalam acara Indonesia Fintech Summit 2020 pada Kamis (12/11).
Namun untuk menyelesaikan masalah infrastruktur itu, fintech tidak bisa bekerja sendiri. "Perusahaan tidak memiliki kemampuan untuk transformasi digital sendiri, mereka bisa berkolaborasi dengan berbagai ekosistem teknologi lainnya," kata Chatib yang juga menjabat sebagai Dewan Penasihat Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI).
Selain itu, menurutnya masalah infrastruktur merupakan pekerjaan rumah (PR) bagi pemerintah. "Makanya pemerintah harus selesaikan masalah infrastruktur ini," katanya.
Pernyataan Chatib ini sesuai dengan survei Katadata Insight Center (KIC) yang menunjukkan 24,1% hingga 30% responden 1.155 responden menyatakan belum ada jasa fintech pembayaran atau dompet digital (e-wallet). Selain itu, 90,4% lebih sering menggunakan uang tunai saat bertransaksi.
Sebanyak 42,9% tinggal di daerah urban, sementara sisanya di rural atau perdesaan. Separuh lebih dari responden berusia 23-38 tahun. Kemudian, 25,8% berumur 39-54 tahun, dan 20,7% berusia 15-22 tahun. Sedangkan sisanya baby boomer atau rentang 55-65 tahun.
Direktur Jenderal Aplikasi Informatika Kementerian Kominfo Semuel A. Pangerapan mengatakan, fintech sulit berkembang di daerah apabila tidak didukung oleh infrastruktur digital yang baik. "Kami tidak bisa bertransformasi tanpa selesaikan masalah infrastruktur digital," katanya.
Semuel mengakui, masih ada banyak wilayah yang belum mendapatkan akses yang baik. Data dari Kementerian Kominfo, masih ada 12.548 desa yang belum terakses internet 4G.
Perinciannya, 9.113 desa berada di daerah tertinggal, terdepan, dan terluar atau 3T. Sedangkan 3.435 lainnya di luar wilayah itu, sehingga menjadi tanggung jawab operator seluler untuk menyediakan 4G. "Pemerintah menargetkan internet 4G masuk di semua desa pada 2022," katanya.
Ketua Umum Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) Adrian Gunadi mengatakan, kolaborasi juga bisa dilakukan baik dengan pemerintah maupun perbankan dengan cara memanfaatkan keunggulan data.
Sektor fintech lending misalnya, sudah mempunyai pusat data atau Fintech Data Center (FDC) yang menjaring data 26 juta peminjam.
Data itu bisa dikolaborasikan dengan pemerintah untuk pemulihan ekonomi, seperti pemberian subsidi bagi Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM).
Adrian mengatakan, fintech juga perlu kolaborasi dengan perbankan untuk memperluas penggunaan layanan. Perusahaan bisa memanfaatkan jaringan dan basis konsumen yang ada di perbankan.
Ia mengatakan, asosiasi fintech juga berupaya memperluas kolaborasi dengan berbagai ekosistem teknologi lainnya. "Ada lembaga keuangan atau ekosistem teknologi lain seperti e-commerce dan berbagi tumpangan (ride-hailing). Itu potensial karena terus tumbuh," ujarnya pada Oktober lalu.