Transaksi Fintech Melonjak, Asosiasi Usul Tiga Sisi Penguatan Regulasi

Fahmi Ahmad Burhan
11 November 2020, 17:37
Transaksi Fintech Melonjak, Asosiasi Usul Tiga Sisi Penguatan Regulasi
Ajeng Dinar Ulfiana|KATADATA
(ki-ka) Sri Mulyani Menteri Keuangan Indonesia, Kepala Grup Inovasi Keuangan Digital Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Triyono Gani, Perry Warjiyo Gubernur Bank Indonesia dan moderator dalam acara Indonesia Fintech Summit & Expo 2019 di Jakarta Convention Center,  Jakarta (23/9/2019).

Asosiasi Fintech Indonesia (Aftech) menilai perlu ada penguatan regulasi di tengah lonjakan transaksi teknologi finansial (fintech) saat  pandemi corona. Mereka mengusulkan tiga hal yakni perlunya Undang-undang (UU), serta mengatur kolaborasi dan keamanan.

Sekretaris Jendral Aftech Karaniya Dharmasaputra menilai, perlu ada UU yang mengatur tentang fintech. Selama ini, payung hukum industri berupa peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) dan Bank Indonesia (BI).

Advertisement

“BI dan OJK harus mengadopsi aturan dasar. Ini bisa dimasukkan ke dalam UU, karena penting," kata Karaniya dalam acara Indonesia Fintech Summit (IFS) 2020, Rabu (11/11).

Kedua, perlu mengatur tentang kolaborasi fintech. "Perlu regulasi yang lebih terintegrasi," katanya. Sebab, aturan yang berbeda antar-platform mempersulit perusahaan untuk bekerja sama.

Sedangkan Ketua Umum Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) Adrian Gunadi mengatakan, fintech perlu kolaborasi untuk memperluas penggunaan layanan. Dengan perbankan misalnya, perusahaan bisa memanfaatkan jaringan dan basis konsumen.

Sedangkan bank bisa menggunakan teknologi dan basis data fintech. Apalagi, fintech pinjam-meminjam (lending) memiliki pusat data atau pusdafil, dengan 26 juta data peminjam.

Fasilitas yang juga dikenal dengan Fintech Data Center (FDC) itu bisa dimanfaatkan untuk menilai risiko kredit Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM). Ini karena platform itu memiliki informasi terkait perkembangan bisnis hingga NIK peminjam.

Ketiga, penguatan regulasi diharapkan memuat keamanan konsumen. "Ini untuk memastikan perlindungan pelanggan," kata Adrian.

Apalagi, berdasarkan riset dari Palo Alto Networks, 62% dari 400 responden menilai sistem pembayaran digital berpeluang diretas. Lalu, 66% menyebut bahwa platfom e-commerce juga berpotensi dibobol.

Responden yang disurvei menjabat posisi manajemen perusahaan terkait teknologi informasi (IT) di Thailand, Indonesia, Filipina, dan Singapura. Survei dilakukan selama 6-15 Februari lalu.

Halaman:
Reporter: Fahmi Ahmad Burhan
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...
Advertisement