Transaksi Fintech Melonjak, Asosiasi Usul Tiga Sisi Penguatan Regulasi
Asosiasi Fintech Indonesia (Aftech) menilai perlu ada penguatan regulasi di tengah lonjakan transaksi teknologi finansial (fintech) saat pandemi corona. Mereka mengusulkan tiga hal yakni perlunya Undang-undang (UU), serta mengatur kolaborasi dan keamanan.
Sekretaris Jendral Aftech Karaniya Dharmasaputra menilai, perlu ada UU yang mengatur tentang fintech. Selama ini, payung hukum industri berupa peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) dan Bank Indonesia (BI).
“BI dan OJK harus mengadopsi aturan dasar. Ini bisa dimasukkan ke dalam UU, karena penting," kata Karaniya dalam acara Indonesia Fintech Summit (IFS) 2020, Rabu (11/11).
Kedua, perlu mengatur tentang kolaborasi fintech. "Perlu regulasi yang lebih terintegrasi," katanya. Sebab, aturan yang berbeda antar-platform mempersulit perusahaan untuk bekerja sama.
Sedangkan Ketua Umum Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) Adrian Gunadi mengatakan, fintech perlu kolaborasi untuk memperluas penggunaan layanan. Dengan perbankan misalnya, perusahaan bisa memanfaatkan jaringan dan basis konsumen.
Sedangkan bank bisa menggunakan teknologi dan basis data fintech. Apalagi, fintech pinjam-meminjam (lending) memiliki pusat data atau pusdafil, dengan 26 juta data peminjam.
Fasilitas yang juga dikenal dengan Fintech Data Center (FDC) itu bisa dimanfaatkan untuk menilai risiko kredit Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM). Ini karena platform itu memiliki informasi terkait perkembangan bisnis hingga NIK peminjam.
Ketiga, penguatan regulasi diharapkan memuat keamanan konsumen. "Ini untuk memastikan perlindungan pelanggan," kata Adrian.
Apalagi, berdasarkan riset dari Palo Alto Networks, 62% dari 400 responden menilai sistem pembayaran digital berpeluang diretas. Lalu, 66% menyebut bahwa platfom e-commerce juga berpotensi dibobol.
Responden yang disurvei menjabat posisi manajemen perusahaan terkait teknologi informasi (IT) di Thailand, Indonesia, Filipina, dan Singapura. Survei dilakukan selama 6-15 Februari lalu.
Riset Aftech juga menunjukkan, 22% fintech pembayaran dan 18% pembiayaan pernah mengalami serangan siber. Sebanyak 95% dari 154 menyatakan, kurang dari 100 penggunanya diserang peretas pada tahun lalu.
CEO Digital Forensik Indonesia Ruby Alamsyah mengatakan, regulasi keamanan digital sangatlah penting karena mencakup data konsumen. “Konten sensitif dapat digunakan untuk tujuan ilegal,” kata dia dalam acara Fintech Summit 2020 bertajuk ‘Cybersecurity: a White Hacker Story’.
Modus pelaku biasanya dengan manipulasi psikologis atau rekayasa sosial (social engineering). Selain itu, menyematkan perangkat lunak (software) berbahaya seperti malware dan ransomware ker gawai calon korban.
Sebelumnya, Peneliti keamanan siber dari Communication Information System Security Research Center (CISSReC) Pratama Persadha mengatakan, fintech menjadi sasaran peretasan karena banyaknya data pengguna yang dikelola. Untuk kasus Cermati misalnya, data yang diambil dari kegiatan 17 perusahaan.
Ia menilai, data tersebut sangat berbahaya apabila bocor. "Perlu penyelidikan mendalam lewat digital forensik. Di mana saja lubang keamanan yang mengakibatkan kebocoran data," kata Pratama dikutip dari siaran pers, pekan lalu (3/11).
Data itu bisa dimanfaatkan oleh peretas untuk dijual ke bisnis periklanan. Selain itu, dapat menjadi bahan baku penipuan dan tindak kejahatan lainnya. "Pembobolan perbankan bisa dimulai dengan modal nama, alamat, e-mail dan nomor ponsel," ujarnya.
Di sisi lain, penggunaan fintech juga semakin masif. Bi mencatat bahwa rata-rata nilai transaksi uang elektronik selama Januari-Juli atau pandemi virus corona mencapai Rp 16,7 triliun per bulan. Nilainya meningkat 59% secara tahunan (year on year/yoy).
Pada tahun ini, nilai transaksi tertinggi terjadi pada April Rp 17,5 triliun. Ini seiring dengan mulai diterapkannya pembatasan sosial berskala besar (PSBB) di Jakarta.