Pemerintah India mengusulkan untuk membuat Undang-undang (UU) yang melarang mata uang kripto (cryptocurrency), termasuk bitcoin. Bagi yang melanggar, akan dikenakan denda. Bahkan, India sempat mengkaji hukuman penjara.
Berdasarkan data Coindesk, harga bitcoin US$ 58.893 atau Rp 848,9 juta per koin pada hari ini (18/3). Nilainya melonjak 4% dibandingkan perdagangan kemarin (17/3).
Harganya bahkan melampaui US$ 60 ribu atau Rp 864 juta pada perdagangan akhir pekan lalu. "Sejak awal tahun pun harganya melonjak dua kali lipat. Sebagian besar karena permintaan dari investor institusional yang mencari lindung nilai ketika dolar AS menurun," demikian dikutip dari Coindesk, Rabu (17/3).
Di tengah kenaikan harga bitcoin tersebut, pemerintah India menyiapkan regulasi yang melarang mata uang kripto. Sumber Reuters yang merupakan pejabat pemerintah India mengatakan, akan ada sanksi bagi yang melanggar.
"Regulasi itu akan mengkriminalisasi kepemilikan, penerbitan, penambangan, perdagangan, dan transfer aset kripto," kata sumber, dikutip dari Reuters, Minggu (15/3).
Apabila regulasi itu disahkan, pemegang mata uang kripto diberi kesempatan hingga enam bulan untuk melikuidasi aset. "Setelahnya, hukuman akan dijatuhkan," kata pejabat yang tidak ingin disebutkan identitasnya.
Para pejabat yakin UU tersebut akan disahkan tahun ini. Pemerintah menilai, perdagangan mata uang kripto sebagai skema ponzi.
Mereka juga menilai, bitcoin dan cryptocurrency lainnya tidak dapat diperlakukan sebagai mata uang karena tidak terbuat dari logam maupun bentuk fisik lainnya. Selain itu, tak ada cap atau tanda tangan resmi pemerintah.
Pada 2018 lalu, India pernah merekomendasikan pelarangan semua cryptocurrency. Selain itu, mengusulkan hukuman hingga 10 tahun penjara bagi yang melanggar.
"Pemerintah tidak mengakui cryptocurrency sebagai alat pembayaran yang sah dan akan mengambil semua langkah untuk menghilangkan penggunaan aset kripto ini," kata Arun Jaitley, saat menjabat menteri keuangan India pada 2018, dikutip CNBC Internasional, Januari lalu (31/1).
Namun, kebijakan itu meresahkan startup yang menawarkan layanan jual beli aset kripto. Aturan itu pun digugat ke Mahkamah Agung oleh beberapa bursa dan pedagang cryptocurrency.
Pengadilan tertinggi negara itu kemudian memutuskan untuk mendukung para pemain cryptocurrency. Kebijakan pelarangan itu pun dicabut pada Maret 2020.
Volume transaksi mata uang kripto di India terus melonjak. Industri memperkirakan, ada delapan juta investor yang memegang aset kripto total 100 miliar rupee atau US$ 1,4 miliar.
"Meskipun orang panik karena potensi larangan, keserakahan mendorong pilihan ini," kata investor aset kripto Sumnesh Salodkar.
Di sisi lain, pemerintah India sedang mengkaji kebijakan untuk membuat mata uang digital resmi yang dikeluarkan oleh bank sentral India atau Reserve Bank of India (RBI). Ini lebih dulu diterapkan di AS, Tiongkok, Jepang, Kanada, Venezuela, Estonia, Swedia, dan Uruguay.
Mata uang digital nasional biasanya tersentralisasi. Sedangkan cryptocurrency terdesentralisasi.
Di Tiongkok misalnya, Bank sentral Tiongkok atau People's Bank of China (PBOC) mengembangkan mata uang digital yuan. Ini pada dasarnya sama seperti uang kertas maupun koin yang dikeluarkan secara resmi oleh pemerintah Tiongkok.
Yuan digital itu berbeda dengan cryptocurrency seperti bitcoin dan ethereum, yang pergerakan harganya berdasarkan spekulasi.