Pindar, Inklusi Keuangan, dan Bayang-Bayang Skema Tadpole
Industri pinjaman daring (pindar) atau peer-to-peer (P2P) lending kini menempati posisi strategis dalam lanskap keuangan nasional. Dalam satu dekade terakhir, sektor ini berkembang dari sekadar inovasi digital menjadi salah satu motor penggerak inklusi keuangan, menjangkau jutaan masyarakat yang selama ini tidak tersentuh layanan perbankan formal.
Dengan kemudahan akses, kecepatan proses, dan jangkauan yang luas, pindar menghadirkan solusi pembiayaan yang fleksibel bagi segmen masyarakat yang tidak terlayani (unbanked) dan kurang terlayani (underbanked) oleh lembaga jasa keuangan konvensional.
Namun, pertumbuhan pesat ini juga menghadirkan tantangan baru, terutama dalam menjaga kualitas kredit, menangani fenomena skema tadpole, memberikan perlindungan konsumen, dan mengelola risiko secara efektif.
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) berdiri di garda depan sebagai pengawas supaya industri pindar dapat tumbuh dengan sehat dan berkelanjutan tanpa mengorbankan integritas dan kepercayaan publik.
Pindar Katalis Pertumbuhan Ekonomi dan Pemerataan Akses
Sebagai katalis pertumbuhan ekonomi, pindar berperan penting dalam memperluas akses keuangan nasional sekaligus memperkuat ekonomi mikro. Hingga September 2025, industri ini mencatat outstanding pembiayaan tumbuh 22,16% year-on-year (yoy) dengan nilai mencapai Rp90,99 triliun, menandakan bahwa peran pindar semakin besar dalam mendorong aktivitas ekonomi masyarakat.
Kepala Eksekutif Pengawas Lembaga Pembiayaan OJK, Agusman, mengatakan pertumbuhan ini menunjukkan peran penting industri P2P lending dalam memperluas akses pembiayaan masyarakat di tengah pemulihan ekonomi. Ia optimistis bahwa tren positif ini akan berlanjut hingga akhir tahun.
Secara akumulatif, jumlah rekening penerima pinjaman per Juni 2025 telah mencapai 158,37 juta atau setara dengan 55,6% populasi Indonesia. Ini merupakan sebuah capaian yang memperlihatkan betapa masifnya penetrasi layanan pembiayaan digital di masyarakat.
Selain itu, pindar menjadi solusi dalam menjembatani kesenjangan pembiayaan UMKM yang sulit dijangkau perbankan.
Berdasarkan riset EY MSME Market Study and Policy Advocacy, kebutuhan pembiayaan UMKM pada 2026 diproyeksikan mencapai Rp4.300 triliun, sementara pasokan kredit konvensional baru sekitar Rp1.900 triliun. Celah sebesar Rp2.400 triliun ini menjadi ruang bagi pindar untuk tumbuh sekaligus memperluas perannya sebagai katalis ekonomi rakyat.
Hingga Agustus 2025, kontribusi Pindar terhadap sektor produktif dan UMKM telah mencapai Rp29,64 triliun.
Ketua Umum AFPI, Entjik S. Djafar, menegaskan pada bahwa pindar menjadi solusi alternatif bagi kelompok masyarakat dan pelaku usaha yang selama ini dianggap unbankable oleh lembaga keuangan konvensional.
Sementara itu, Direktur Segara Research Institute, Piter Abdullah, menyebut pindar sebagai “antitesis perbankan”. Menurutnya, jika perbankan cenderung sangat ketat dalam analisis risiko, maka pindar hadir dengan model yang lebih adaptif dan inklusif. Perbedaan inilah yang memungkinkan terbukanya peluang ekonomi baru di akar rumput.
Tantangan: Risiko Kredit, Fraud, dan Ancaman Eksternal
Di balik manfaat inklusifnya, pindar menghadapi risiko struktural dan operasional yang perlu dimitigasi dengan serius. Model bisnis yang berbasis digitalisasi dan kecepatan tentu harus diimbangi dengan pengawasan yang cermat dan sistem mitigasi risiko yang kuat.
1. Risiko Kredit dan Kualitas Pinjaman
Studi Center of Economic and Law Studies (CELIOS) menyebutkan model bisnis pindar sebagai “bisnis berisiko tanpa agunan” (collateral-free). Tanpa jaminan aset fisik, risiko gagal bayar sepenuhnya ditanggung oleh platform. Karena itu, analisis data, algoritma skor kredit, dan verifikasi digital menjadi krusial untuk menjaga stabilitas portofolio pinjaman.
Kinerja industri dalam menjaga kualitas kredit menjadi ukuran penting efektivitas penerapan sistem analisis risiko tersebut. Pada September 2025, rasio Tingkat Wanprestasi 90 hari (TWP90) industri pindar tercatat 2,8%, sedikit meningkat dari Agustus yang berada di level 2,60%, namun masih lebih rendah dibandingkan Juli sebesar 2,75%. Persentase ini relatif terjaga di bawah ambang batas, sehingga dianggap sehat.
2. Fraud dan Fenomena “Gagal Bayar” Terorganisir
Selain risiko kredit, industri pindar juga dihadapkan pada ancaman fraud dan praktik gagal bayar (galbay) terorganisir yang bahkan memiliki komunitas dan “joki” khusus. CELIOS memperingatkan, jika fenomena ini meluas, platform pindar legal akan menghadapi risiko hilangnya kepercayaan publik (trust deficit) di kalangan pemberi dana (lender), yang pada akhirnya dapat mengguncang ekosistem.
Karena itu, CELIOS merekomendasikan penegakan hukum yang tegas terhadap pelaku “joki gagal bayar”, serta mendorong kolaborasi dengan platform teknologi untuk menyaring dan memblokir konten ajakan gagal bayar. Keamanan ekosistem digital bukan hanya tanggung jawab regulator, tetapi juga tanggung jawab moral seluruh pemain industri.
3. Skema Tadpole
Skema tadpole (kecebong) menjadi sorotan karena dinilai tidak adil dan berpotensi melanggar prinsip manfaat ekonomi yang ditetapkan OJK. Nama tadpole berasal dari analogi bentuk fisik kecebong, yang memiliki kepala yang lebih besar dan secara bertahap meruncing menjadi ekor yang lebih kecil. Skema tadpole terdiri dari 3 tipe. Dua di antaranya memiliki struktur cicilan yang besar di awal. Ini membuat konsumen menanggung beban biaya yang tidak proporsional, sementara platform memperoleh keuntungan efektif yang jauh lebih tinggi dari yang terlihat pada perhitungan bunga nominal. Praktik ini bukan hanya merugikan peminjam, tetapi juga mengganggu kredibilitas industri Pindar.
Skema tadpole banyak dimanfaatkan oleh penyedia jasa pindar ilegal (pinjol) dan rentenir, yang menggunakan struktur cicilan ini untuk mengeksploitasi peminjam dengan cara yang tidak transparan dan memberatkan. Praktik ini bukan hanya merugikan peminjam, tetapi juga mengganggu kredibilitas industri pindar. Berikut tiga tipe skema tadpole:
| Tipe 1 | Pencairan | Cicilan 1(hari ke-15) | Cicilan 2(hari ke-30) | Cicilan 3(hari ke-150) | Cicilan 4(hari ke-180) | Total Pembayaran |
| Jumlah cicilan dan interval pembayaran tidak sama | Rp 1.000.000 | Rp924.000 | Rp462.000 | Rp77.000 | Rp77.000 | Rp1.540.000 |
| Tipe 2 | Pencairan | Cicilan 1(hari ke-15) | Cicilan 2(hari ke-30) | Cicilan 3(hari ke-45) | Cicilan 4(hari ke-180) | Total Pembayaran |
| Jumlah cicilan sama, interval pembayaran tidak sama | Rp 1.000.000 | Rp385.000 | Rp385.000 | Rp385.000 | Rp385.000 | Rp1.540.000 |
| Tipe 3 | Pinjaman & Pencairan | Cicilan 1(hari ke-30) | Cicilan 2(hari ke-60) | Cicilan 3(hari ke-90) | Cicilan 4(hari ke-120) | Cicilan 5(hari ke-150) | Cicilan 6(hari ke-180) | Total Pembayaran |
| Biaya di muka yang besar, cicilan dan interval pembayaran sama | PinjamanRp1.000.000PencairanRp700.000 | Rp207.000 | Rp207.000 | Rp207.000 | Rp207.000 | Rp207.000 | Rp207.000 | Rp1.242.000 |
*Asumsi pinjaman Rp.1.000.000
**Pembayaran termasuk bunga
Dampak tadpole pada konsumen:
Beban pembayaran awal yang berlebihan: Skema tadpole menumpuk cicilan pertama hingga lebih dari 60% dari total pinjaman. Banyak platform pindar dengan skema tadpole juga memiliki waktu pembayaran cicilan yang tidak reguler. Misalnya, cicilan pertama harus dibayarkan 20 hari setelah dana pinjaman cair. Namun, masa pembayaran cicilan kedua bisa kurang dari 20 hari. Ini membuat banyak peminjam rentan gagal bayar dan bahkan memicu mereka mencari pinjaman dari platform ilegal, menciptakan siklus utang yang tidak sehat.
Manfaat ekonomi efektif melampaui batas OJK: Meskipun nominal tingkat bunga tahunan atau Annual Percentage Rate (APR) yang ditampilkan pada aplikasi pindar yang menerapkan skema tadpole tampak sesuai aturan OJK (maks. 0,3% per hari), struktur pembayaran berat di awal membuat manfaat ekonomi efektif—diukur melalui Internal Rate of Return (IRR)—melonjak hingga di atas 0,45%. Porsi cicilan yang besar di awal bisa meningkatkan IRR 3-4x lipat dari skema cicilan umum (non-tadpole). Temuan OJK menunjukkan bahwa skema ini dapat melanggar batas manfaat ekonomi tanpa terlihat melanggar di permukaan.
Ketidakseimbangan nilai pinjaman dan dana cair: Skema tadpole memungkinkan adanya potongan biaya di muka sehingga membuat peminjam menerima dana lebih kecil dari nilai pinjaman, tetapi harus melunasi pokok secara penuh.
Misalnya, seorang peminjam mengambil pinjaman sebesar Rp1.000.000, tetapi hanya menerima pencairan dana sebesar Rp800.000 (dipotong di muka sebesar Rp200.000 atau 20% dari pokok pinjaman), dan tetap harus membayar pokok pinjaman beserta bunga/biaya yang dihitung berdasarkan Rp1.000.000. Ketidakseimbangan ini melanggar prinsip transparansi dan keadilan.
Dampak tadpole pada industri pindar:
Eksploitasi terhadap masyarakat dengan literasi keuangan rendah: Skema tadpole merupakan bentuk penipuan yang melanggar prinsip perlindungan konsumen dan transparansi. Platform yang menerapkannya sengaja menyamarkan biaya dan beban bunga sehingga peminjam tidak menyadari besarnya kewajiban yang sebenarnya. Praktik manipulatif ini secara sistematis menjerat masyarakat dengan literasi keuangan rendah, terutama mereka yang tidak memiliki akses perbankan formal. Bagi kelompok ini, P2P lending sering kali menjadi satu-satunya pilihan pembiayaan yang justru membebani mereka secara tidak adil.
Memburuknya kualitas kredit: Struktur cicilan awal yang sangat besar menimbulkan tekanan keuangan yang tinggi bagi peminjam. Ketika banyak peminjam tidak mampu memenuhi cicilan pertama atau kedua, risiko gagal bayar meningkat dan mendorong naiknya rasio TWP90. Jika tren ini terjadi secara meluas, kualitas portofolio penyelenggara akan tergerus dan memengaruhi kesehatan seluruh industri.
Dalam kondisi tertentu, kenaikan TWP90 dapat memaksa platform memperketat penyaluran pinjaman atau meningkatkan biaya risiko, yang pada akhirnya berdampak pada berkurangnya akses pendanaan bagi segmen masyarakat yang membutuhkan. Kondisi ini juga berpotensi menarik perhatian regulator untuk memperketat pengawasan, sehingga menambah tekanan operasional bagi penyelenggara pindar.
Merusak citra dan kepercayaan publik: Menurut OJK, skema tadpole menimbulkan persepsi bahwa layanan pindar tidak transparan, bahkan cenderung eksploitatif. Ketika konsumen merasa dirugikan melalui biaya tersembunyi atau struktur cicilan yang tidak wajar, reputasi seluruh industri terpengaruh, termasuk platform yang tidak menggunakan skema tersebut.
Persepsi negatif ini dapat mengurangi minat lender, yang merupakan sumber pendanaan utama dalam ekosistem pindar. Jika kepercayaan ini melemah, penyelenggara akan menghadapi kesulitan dalam menarik dana baru maupun mempertahankan lender eksisting, sehingga pertumbuhan industri dapat terhambat dan daya saing Pindar terhadap layanan keuangan lain menurun.
4. Pinjol Ilegal dan Kerentanan Literasi Keuangan
Ancaman lain yang tak kalah penting datang dari pindar ilegal (pinjol) yang beroperasi tanpa izin dan di luar pengawasan OJK. Maraknya praktik skema tadpole yang membebani peminjam dan mendorong meningkatnya gagal bayar turut memperburuk situasi, karena sebagian konsumen yang kesulitan memenuhi cicilan akhirnya mencari jalan pintas melalui pinjol.
Perpindahan ini semakin memperlebar risiko dan menempatkan masyarakat pada posisi yang jauh lebih rentan.Hingga 2024, jumlah entitas pinjol mencapai 3.240, sementara penyelenggara pindar legal yang terdaftar di OJK hanya 97 entitas, bahkan berkurang menjadi 96 entitas pada akhir 2025.
Pada periode Januari sampai dengan 31 Oktober 2025, OJK telah menemukan dan menghentikan 1.556 entitas pinjol di sejumlah situs dan aplikasi yang berpotensi merugikan masyarakat.
Pinjol ini kerap menetapkan bunga dan biaya yang tidak transparan, bahkan melakukan penagihan dengan cara intimidatif. Mereka memanfaatkan rendahnya literasi keuangan masyarakat, meski tingkat inklusi keuangan Indonesia telah mencapai 80,51% pada 2025, tingkat literasi baru 66,46%.
Kondisi ini menunjukkan bahwa akses tanpa pemahaman menciptakan celah kerentanan. Survei OECD/INFE 2023 bahkan mencatat skor financial knowledge Indonesia hanya 9 dari 100 poin, jauh di bawah rata-rata negara OECD yang mencapai 58 poin.
Ketimpangan ini menjelaskan mengapa sebagian masyarakat masih terjerat pinjaman ilegal, sekaligus mengaburkan citra positif industri Pindar yang sah.
Penguatan Regulasi dan Konsolidasi OJK
Untuk menjaga keseimbangan antara inovasi dan integritas, OJK memperkuat fondasi hukum melalui POJK Nomor 40 Tahun 2024 tentang Layanan Pendanaan Bersama Berbasis Teknologi Informasi. Regulasi ini menjadi payung hukum utama industri Pindar, dengan fokus pada transparansi, penilaian risiko, dan perlindungan konsumen.
POJK tersebut mewajibkan penyelenggara untuk menampilkan penilaian kredit, mengungkap risiko pendanaan secara jelas, serta menerapkan batas maksimum suku bunga. Dengan demikian, OJK berupaya menekan praktik predatory lending dan menutup ruang bagi pinjaman ilegal.
Dari sisi kelembagaan, hingga Oktober 2025, OJK mencatat masih ada 8 penyelenggara yang belum memenuhi ketentuan ekuitas minimum Rp12,5 miliar. Karena itu, OJK mendorong langkah konsolidasi industri melalui merger atau akuisisi bagi penyelenggara yang permodalannya belum kuat.
Pendekatan ini tidak hanya terkait kepatuhan administratif, tetapi juga strategi jangka panjang untuk membangun industri yang lebih efisien, berdaya tahan, dan mampu berekspansi secara sehat.
Dalam konteks penegakan hukum, OJK telah mencabut izin dua penyelenggara, TaniFund dan Investree, yang tidak memenuhi ketentuan ekuitas minimum. Langkah ini menjadi pesan tegas bahwa pengawasan terhadap industri keuangan digital tak lagi bisa setengah hati.
Selama bulan Oktober 2025 OJK telah mengenakan sanksi administratif kepada 25 penyelenggara pindar atas pelanggaran yang dilakukan terhadap POJK yang berlaku, maupun hasil pengawasan dan/atau tindak lanjut pemeriksaan.
Selain itu, OJK juga telah mengatur penyesuaian suku bunga maksimal Pindar secara bertahap mulai 2025 hingga 2026 agar bunga tetap wajar dan terjangkau tanpa membebani konsumen.
Selain pengawasan dan regulasi, literasi keuangan digital menjadi kunci utama dalam menjaga stabilitas ekosistem pindar. OJK dan AFPI menilai bahwa literasi keuangan bukan hanya sarana edukasi, tetapi juga bentuk perlindungan diri bagi konsumen.
Masyarakat yang memahami risiko dan haknya akan lebih berhati-hati memilih platform legal, sekaligus memperkuat kepercayaan publik terhadap penyelenggara resmi. Peningkatan literasi ini menjadi benteng utama untuk menekan laju pinjol ilegal dan praktik gagal bayar yang merugikan.
Menuju Ekosistem yang Transparan dan Berkelanjutan
Dengan 95 platform resmi yang terdaftar di OJK, industri pindar kini menjadi bagian integral dari infrastruktur ekonomi digital Indonesia. Keberadaan pindar tidak hanya memperluas akses pembiayaan, tetapi juga menciptakan struktur keuangan yang lebih inklusif dan dinamis.
Namun, pertumbuhan yang cepat selalu menuntut keseimbangan antara inovasi, regulasi, dan integritas. Regulasi yang kuat, tata kelola yang disiplin, dan literasi publik yang meningkat akan menjadi tiga pilar utama bagi masa depan industri ini.
Pindar dapat diibaratkan seperti pipa air bertekanan tinggi yang menyalurkan sumber daya vital ke seluruh penjuru negeri. Selama pipa itu dirawat, diatur, dan diawasi dengan baik, airnya akan terus mengalir deras dan membawa manfaat ekonomi luas tanpa menimbulkan kebocoran kepercayaan.
Industri ini telah membuktikan bahwa inovasi digital dan kehati-hatian finansial dapat berjalan beriringan. Dengan dukungan regulator yang adaptif dan pelaku industri yang bertanggung jawab, pindar akan terus menjadi jembatan antara teknologi, keuangan, dan kesejahteraan masyarakat Indonesia.