Parlemen Rusia memperkenalkan Rancangan Undang-undang (RUU) terkait penggunaan platform digital pada Kamis (19/11) kemarin. Jika aturan ini disahkan, pemerintah berpotensi membatasi akses ke media sosial asal Amerika Serikat (AS) seperti Twitter dan Facebook.
Para pengusul RUU itu sebagian besar berasal dari Partai Rusia Bersatu (United Russia) yang saat ini berkuasa. Mereka mengklaim telah menerima keluhan dari beberapa media seperti Russia Today, RIA Novosti dan Crimea 24 tentang akun yang ditangguhkan atau diberi label oleh Twitter, YouTube, dan Facebook.
Twitter melabeli akun beberapa media Rusia dengan deskripsi ‘media yang berafiliasi dengan negara’. Pemerintah pun mengecam pelabelan itu.
Parlemen mengatakan, konsumen juga terkena dampak pelabelan itu. Akses masyarakat untuk mendapatkan informasi benar dari media-media tersebut dinilai dibatasi.
Oleh karena itu, parlemen mengusulkan regulasi baru tentang penggunaan platform digital. "Urgensi dalam mengadopsi RUU ini karena banyak kasus pembatasan yang tidak dapat dibenarkan, atas akses warga ke informasi dari media Rusia oleh sumber internet tertentu," kata parlemen dalam catatan pengenalan RUU itu dikutip dari Reuters, Kamis (19/11).
Akan tetapi, RUU itu harus disetujui oleh anggota parlemen di majelis rendah terlebih dahulu. Setelahnya, draf aturan masuk di pembahasan majelis tinggi parlemen, lalu ditandatangani oleh Presiden Rusia Vladimir Putin.
Juru bicara pemerintah Dmitry Peskov mengatakan, mekanisme untuk mengatasi masalah pembatasan akses ke platform digital juga diperlukan. "Bagi kami, hal utama yakni membela media dari diskriminasi semacam itu," katanya.
Pemimpin oposisi Rusia dari Partai Rusia Masa Depan (Rusia of the Future) Alexei Navalny mengatakan, apabila RUU itu disahkan, maka pemerintah akan kehilangan kendali atas teknologi. "Hebat. Biarkan mereka meloloskan itu secepat mungkin dan semua orang akhirnya akan memasang server proxy Virtual Private Network (VPN)," dikutip dari Bloomberg, Kamis (19/11).
Mengacu pada draf yang diperkenalkan oleh parlemen, nantinya pengawas komunikasi di Negara Beruang Putih itu akan memiliki kewenangan untuk memblokir platform media sosial sepenuhnya atau sebagian.
Jaksa Penuntut Umum Rusia dan Kementerian Luar Negeri Rusia nantinya menentukan sumber daya digital mana yang bisa dibatasi aksesnya. Pembatasan akan mengacu pada aspek sosial, kebangsaan, atau bahasa.
Dalam aturan itu, Rusia juga bisa memberikan sanksi kepada Twitter, Facebook hingga YouTube. Salah satu bentuknya berupa denda.
Berdasarkan data Statista, penetrasi media sosial asal AS di Rusia cukup tinggi. Pengguna Twitter di negara ini merupakan yang terbesar ke-10, yakni 9,91 juta orang. Selain itu, 13 juta menggunakan Facebook.
Penetrasi YouTube di Rusia juga merupakan yang tertinggi. Sebanyak 87% populasi menggunakan platfrom video ini. Jumlahnya jauh lebih tinggi dibandingkan pelanggan VKontakte, yang hanya 83%. VKontakte biasanya disebut Facebook-nya Rusia.
Meski begitu, jumlah pengguna VKontakte atau VK tumbuh signifikan selama empat tahun terakhir. Basis konsumennya naik dari 39,7 juta pengguna pada Maret 2014, menjadi 81,1 juta per Desember 2017.
Di satu sisi, Rusia telah lama berusaha mendapatkan kontrol lebih besar atas penggunaan internet. Pada 2016, pemerintah pernah memblokir platform LinkedIn karena tidak mematuhi peraturan penyimpanan data.
Pada Juli 2018, regulasi mengharuskan perusahaan digital untuk menyimpan konten komunikasi seperti pesan teks, suara, data, dan gambar di server Rusia selama enam bulan. Ketentuan ini agar data pengguna aman.
Pada Februari lalu, pemerintah juga mendenda Twitter dan Facebook masing-masing 4 juta rubel atau US$ 53.000 (Rp 752 juta). Ini karena pelanggaran regulasi data.