Huawei melepas menjual bisnis ponsel pintar (smartphone) Honor kepada Shenzhen Zhixin New Information Technology Co. Ltd pada akhir tahun lalu, supaya terlepas dari tekanan Amerika Serikat (AS). Namun AS tetap mengincar produsen gawai asal Cina ini.

Ada 14 anggota Partai Republik AS yang ingin Honor masuk daftar hitam (blacklist) terkait perdagangan AS. Permintaan ini dipimpin oleh anggota peringkat Komite Urusan Luar Negeri DPR Michael McCaul.

“Honor dipisahkan (dari Huawei) dalam upaya menghindari kebijakan kontrol ekspor AS yang bertujuan menjaga teknologi dan perangkat lunak AS dari tangan Partai Komunis Tiongkok,” kata politisi Partai Republik dalam surat pernyataan dikutip dari South China Morning Post (SCMP), akhir pekan lalu (7/8).

Surat itu mengutip analis yang mengatakan bahwa Huawei mendapatkan akses untuk memperoleh cip (chipset) setelah menjual Honor. Selain itu, “memperoleh akses ke perangkat lunak (software) yang diandalkan dan mungkin akan diblokir jika divestasi tidak dilakukan,” demikian isi surat.

Departemen Perdagangan AS pun menerima surat dari politisi Partai Republik itu. “Kami menghargai perspektif para anggota Kongres,” kata juru bicara. “Kami akan terus meninjau informasi yang tersedia untuk mengidentifikasi potensi penambahan ke daftar entitas (yang diblokir).

Sebagaimana diketahui, Huawei masuk daftar hitam perdagangan AS sejak Mei 2019, karena diangap mengancam keamanan nasional. Imbas sanksi ini, raksasa teknologi asal Tiongkok ini tidak bisa bekerja sama dengan perusahaan AS.

Honor merupakan bagian integral dari bisnis smartphone Huawei, yang kesulitan mendapatkan pasokan perangkat dari AS. Ini karena pemerintahan Donald Trump menambah 38 semikonduktor Huawei ke dalam daftar hitam pada Agustus lalu, sehingga totalnya menjadi 152.

Oleh karena itu, Huawei memutuskan untuk menjual Honor kepada konsorsium Shenzhen Zhixin New Information Techonology Co. Ltd. Sedangkan konsorsium ini terdiri dari 30 lebih perusahaan Tiongkok, yang dikabarkan membeli Honor sekitar US$ 15,2 miliar.

“Setelah ‘bercerai’, tidak akan ada lagi hubungan di bawah meja dengan Honor. Kami menangani pemisahan ini secara dewasa, dan akan dengan ketat mematuhi peraturan dan norma internasional,” kata pendiri Huawei Ren Zhengfei dikutip dari Bloomberg, akhir tahun lalu (28/11/2020).

Apalagi, bisnis Honor melibatkan jutaan karyawan di agen dan distributor yang berpotensi kehilangan pekerjaan. “Kami tidak harus menyeret orang yang tidak bersalah ke dalam air hanya karena kami menderita,” ujar Ren dikutip dari Reuters.

Imbas sanksi AS, pendapatan Huawei turun 29,4% menjadi 320,4 miliar yuan atau sekitar Rp 712,6 triliun. Penurunan paling besar terjadi di lini bisnis konsumen yang mencakup ponsel, anjlok 47% menjadi 135,7 miliar yuan.

Juru bicara Huawei menyampaikan, penurunan itu karena akses untuk mendapatkan cip ke AS. Selain itu, pada dasarnya cip langka.

“Kami benar-benar terpengaruh oleh kekurangan cip,” kata juru bicara Huawei dikutip dari Financial Times, akhir pekan lalu (7/8). Selain itu, “karena sanksi AS.”