Raksasa teknologi asal Cina, Huawei, gencar menyasar pasar komputasi awan (cloud) di Asia Tenggara, termasuk Indonesia. Huawei memilih masuk ke pasar cloud seiring dengan tekanan dari Amerika Serikat (AS) yang membuat bisnis ponsel pintar atau smartphone mereka ambruk.
Dikutip dari South China Morning Post, Huawei akan menggandakan layanan cloud-nya di Asia Tenggara. Huawei telah meluncurkan zona ketersediaan baru untuk cloud di Thailand.
Zona ketersediaan terdiri dari satu atau lebih pusat data yang diperlakukan sebagai satu kesatuan. Zona tersebut akan saling berhubungan dengan jaringan bandwidth tinggi dan latensi rendah.
Presiden operasi Huawei Cloud untuk Asia-Pasifik Zeng Xingyun mengatakan, zona ketersediaan cloud di Thailand diharapkan dapat menggaet pasar di sektor keuangan dan pemerintahan.
Hingga saat ini, Huawei telah memiliki zona ketersediaan di Thailand, Singapura, dan Malaysia. Di Indonesia, Huawei juga gencar menyasar pasar cloud dengan cara meningkatkan kemampuan talenta digital di bidang cloud.
Raksasa teknologi Cina itu misalnya, bekerja sama dengan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) melatih 400 lebih pegawai dengan materi kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI), cloud, 5G, dan maha data (big data) pada akhir tahun lalu.
Pada tahun lalu, Huawei juga menyediakan 1.000 akun Huawei Cloud E-Learning Service bagi 500 perguruan tinggi Indonesia.
Zeng mengatakan, Huawei gencar menyasar pasar cloud di Asia Tenggara karena potensinya besar. Menurutnya, transformasi digital di Asia Tenggara tergolong cepat. Hal tersebut mendorong permintaan untuk layanan cloud yang tinggi.
"Kuenya juga cukup besar bagi semua orang untuk memilikinya," kata Zeng dikutip dari South China Morning Post pada Kamis (18/11).
Data Statista pun menunjukkan, pengeluaran perusahaan untuk infrastuktur teknologi informasi (IT) diprediksi meningkat 3,8% tahun ini karena pandemi Covid-19. Cloud menjadi salah satu teknologi yang diandalkan.
Sebelumnya, pendiri Huawei Ren Zhengfei mengatakan kepada para stafnya bahwa cloud akan menjadi prioritas perusahaaan pada 2021. Namun, ia menegaskan bahwa langkah ini bukan untuk menyaingi Alibaba dan Amazon.
"Tidak mungkin bagi kami untuk mengikuti jalur yang sama seperti keduanya. Mereka memiliki akses atas uang tak terbatas di pasar saham AS," kata Ren dikutip dari South China Morning Post, pada Januari (3/1).
Menurutnya, fokus Huawei kepada pasar cloud adalah untuk mengurangi skala tekanan dari AS. Huawei masuk daftar hitam (blacklist) terkait perdagangan AS sejak Mei 2019. Alhasil, perusahaan Negeri Paman Sam yang ingin bekerja sama harus mengajukan izin kepada pemerintah terlebih dahulu.
Raksasa teknologi asal AS seperti Google sudah beberapa kali mengajukan izin bermitra dengan Huawei, tetapi lisensinya kedaluwarsa pada Agustus lalu. Kini, ponsel dan tablet Huawei yang diluncurkan setelah pertengahan Mei 2019, tidak akan didukung oleh Google Mobile Services (GMS) seperti Gmail dan YouTube.
Sanksi AS juga mengharuskan pembuat cip asing yang menggunakan teknologi AS untuk mengajukan izin untuk menjual ke Huawei. Ini memaksa Huawei menyetop produksi cip per September 2020.
Alhasil, bisnis smartphone Huawei pun anjlok. Berdasarkan data Counterpoint, penjualan gawai produsen asal Cina itu turun 77% secara tahunan (year on year/yoy) pada kuartal III.
Pangsa pasar Huawei pun hanya 6% di Cina dan menempati peringkat enam. Padahal, raksasa teknologi ini pernah menguasai pasar gadget di Cina.
Secara global, Huawei terlempar dari posisi lima besar di bisnis ponsel. Perusahaan hanya mengirimkan 18,6 juta unit pada kuartal pertama tahun ini.
Pada Januari, lembaga riset TrendForce memperkirakan bahwa pangsa pasar Huawei menjadi ketujuh tahun ini. Artinya raksasa teknologi Cina itu diprediksi kalah dari Samsung, Apple, Xiaomi, OPPO, Vivo, dan Realme.