Pemerintah menetapkan Pajak Pertambahan Nilai alias PPN 12% pada 2025 atau meningkat dibandingkan tahun ini 11%. Kebijakan ini dinilai berdampak kecil terhadap penjualan gadget, khususnya flagship.
Flagship merupakan istilah yang menggambarkan produk inti, unggul, dan diutamakan oleh perusahaan. Ponsel flagship biasanya memiliki fitur canggih atau performa yang ditingkatkan dibandingkan varian lain.
“Harga ponsel memang akan naik. Namun kondisi pasarnya saya rasa mirip dengan tahun ini yang lesu,” kata pengulas gawai Herry Setiadi Wibowo atau yang akrab disapa Herry SW kepada Katadata.co.id, Jumat (22/11).
Data lembaga riset pasar Counterpoint menunjukkan volume pengiriman smartphone di Indonesia pada kuartal III hanya tumbuh 4% dari tahun ke tahun alias year on year (yoy).
Namun riset Canalys menunjukkan pangsa pasar gadget di Indonesia tumbuh 11,3% yoy pada kuartal III. Rinciannya sebagai berikut:
- OPPO 22%
- Xiaomi 19%
- Transsion 18%
- Samsung 16%
- Vivo 16%
Menurut Herry SW, kebijakan tarif PPN 12% otomatis membuat harga ponsel naik. Ia mencontohkan harga HP Rp 3 juta, jika dikenakan PPN 12% maka menjadi Rp 3.036.000.
Di satu sisi, penjualan ponsel segmen menengah di kisaran Rp 3 juta, laris di Indonesia.
Tarif PPN 12% lebih terasa pada gadget mahal maupun flagship. Meski begitu, Herry SW mencatat daya beli pembeli segmen ini kuat.
Sebelumnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyampaikan PPN naik dari 11% menjadi 12% pada tahun depan. Hal ini tertuang dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan atau UU HPP.
Secara keseluruhan, Institute for Development of Economics and Finance atau Indef menyampaikan dampak kenaikan PPN sembilan kali lipat.
“Peningkatan PPN 1% ini akan membuat konsumen menanggung kenaikan harga barang hingga 9% tahun depan,” demikian isi laporan Institute for Development of Economics and Finance atau INDEF.
Perhitungannya sebagai berikut: (12-11)/11 x 100 = 9,09%
Hal itu bisa berdampak terhadap daya beli, sehingga memengaruhi pertumbuhan ekonomi. INDEF memperkirakan kebijakan ini berpotensi menurunkan pertumbuhan ekonomi 0,02%.