Maxim Usul Tarif Ojol Sesuai UMR Provinsi, Jakarta dan Riau Termahal

maxim
Ilustrasi pengemudi Maxim
14/2/2020, 04.10 WIB

Perusahaan layanan berbagi tumpangan asal Rusia, Maxim, mengusulkan perubahan skema tarif ojek online. Skema yang diusulkan yakni tarif minimal disesuaikan dengan upah minimum regional (UMR) masing-masing provinsi. Ini berbeda dengan skema saat ini yang dibagi dalam tiga zona.

Usulan Maxim, tarif minimal termahal yaitu Rp 4.500 untuk 2 kilometer di DKI Jakarta dan Kepulauan Riau. Sedangkan tarif minimal paling murah yaitu Rp 2.500 untuk jarak yang sama di Jawa Timur, Jawa Tengah, Nusa Tenggara Timur, dan Yogyakarta.

Dengan skema tersebut, Maxim pun membuat perkiraan penghasilan minimal bagi pengemudi ojek online. Perkiraan tersebut dengan asumsi, pengemudi mendapatkan 50 pesanan per hari, bekerja 25 hari dalam sebulan.

(Baca: Taksi & Ojek Online Ingin Tarif Naik, Kemenhub Kaji Daya Beli Konsumen)

Sejalan dengan usulan tarif minimal daerah, potensi penghasilan terbesar adalah untuk pengemudi di DKI Jakarta dan Kepulauan Riau yaitu Rp 4,3 juta per bulan. Sedangkan yang terendah yaitu di Jawa Timur, Jawa Tengah, Nusa Tenggara Timur, dan Yogyakarta yaitu Rp 2,1 juta per bulan.

Namun, dari segi rasionya terhadap UMR setempat, potensi penghasilan pengemudi ojek online di Yogyakarta yang terbesar yaitu mencapai 123%. Ini lantaran UMR setempat sebesar Rp 1,7 juta per bulan.

Maxim mengusulkan skema ini lantaran kenyataannya ada perbedaan daya beli di setiap daerah. Meskipun, ada kebutuhan yang sama akan transportasi. "(Ini) harusnya dapat menjadi pertimbangan dalam keputusan mengenai tarif," ujar Direktur Pengembangan Maxim di Indonesia, Dmitry Radzun seperti dikutip dari siaran pers perusahaan pada Kamis (13/2).

Di sisi lain, pendapatan dan pengeluaran pengemudi juga harus dipertimbangkan. "Bagaimana caranya agar pengemudi bisa mendapatkan keuntungan dan mampu menutup pengeluaran pokoknya," kata dia.

(Baca: Kominfo Ancam Nonaktif Aplikasi, Maxim Sesuaikan Tarif Ojek Online)

Dmitry menambahkan, dalam kebanyakan kasus, konsumen menolak tarif perjalanan yang terlalu mahal, sehingga membuat jumlah pesanan dan penghasilan pengemudi menurun. Sebaliknya, dengan biaya perjalanan yang terjangkau, pengemudi diuntungkan dengan banyaknya pesanan yang diterima.

Senada dengan Maxim, Ketua Presidium Gabungan Aksi Roda Dua (Garda) Igun Wicaksono meminta agar penerapan tarif ojek online ditetapkan per provinsi. Sebab, permintaan layanan ojek online berbeda di setiap daerah. Begitu juga dengan kenaikan biaya komponen layanan ojek online.

"Faktor geografis dan willingness to pay (kemampuan untuk membayar) masyarakat di tiap daerah itu berbeda. Jadi sebaiknya disesuaikan saja dengan dua faktor itu," kata dia kepada Katadata.co.id, beberapa waktu lalu (27/1).

Selama ini, skema tarif ojek online merujuk pada Keputusan Menteri Perhubungan Nomor KM 348 Tahun 2019. Tarif dibagi pada tiga zona. Zona satu terdiri dari Sumatera, Bali, serta Jawa selain Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Jabodetabek). Batas atas dan bawah tarif di wilayah ini berkisar Rp 1.850-Rp 2.300 per kilometer.

Lalu, zona dua di Jabodetabek, dengan besaran tarif  Rp 2.000-Rp 2.500 per kilometer. Zona tiga yakni Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara, Kepulauan Maluku, dan Papua.

Besaran tarif di zona tiga berkisar Rp 2.100-Rp 2.600 per kilometer. Sedangkan biaya jasa minimal di zona satu dan tiga Rp 7 ribu-Rp 10 ribu. Lalu, di zona dua, tarif untuk perjalanan kurang dari empat kilometer berkisar antara Rp 8 ribu-Rp 10 ribu.

Saat ini, Kemenhub sedang mengevaluasi tarif ojek online. Sejauh ini, opsi yang tersedia yakni tarif tetap atau naik. "Kami akan melakukan survei tingkat kemampuan dan kemauan membayar masyarakat. YLKI (Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia) inginnya jangan naik, jangan membebani konsumen," ujar Direktur Angkatan Jalan Kemenhub Ahmad Yani, Selasa (11/2) lalu.

Opsi yang mengerucut dari evaluasi tarif ojek online yaitu tetap dan ada kenaikan. Kemenhub memperkirakan, di daerah tarif akan tetap karena ditakutkan permintaan dari konsumen akan berkurang, sementara opsi kenaikan ada di Jabodetabek karena masih tingginya permintaan. Dalam evaluasi tarif Kemenhub mengacu pada kemampuan membayar (willingnes to pay/WTP) konsumen.