Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) mencatat, penyebaran informasi palsu atau hoaks selama sidang sengketa Pilpres 2019 di Mahkamah Konstitusi (MK) belum semasif saat kerusuhan di Jakarta pada 21-22 Mei lalu. Hoaks yang beredar pun dinilai belum membahayakan keamanan negara.
Berdasarkan pantauan Kementerian Kominfo, hoaks yang bersifat menghasut dan provokasi seperti yang beredar saat kerusuhan 22 Mei lalu sudah menghilang. “Kami belum melihat ada peningkatan hoaks seperti saat (kerusuhan di Jakarta) 21-22 Mei lalu,” kata Menteri Kominfo Rudiantara di Jakarta, Senin (17/6) malam.
Karena sebaran hoaks selama sidang sengketa Pilpres di MK tidak masif, menurutnya belum ada alasan untuk membatasi akses media sosial dan aplikasi percakapan. Meski begitu, Kementerian Kominfo akan terus memantau penyebaran hoaks selama sidang sengketa Pilpres 2019.
(Baca: Tak Batasi Medsos saat Sidang MK, Kominfo: Belum Ada Peningkatan Hoaks)
Lagipula, menurutnya sikap masyarakat berpengaruh terhadap penyebaran hoaks di Tanah Air. Karena itu, ia mengimbau masyarakat untuk tidak menyebarkan hoaks di media sosial ataupun aplikasi percakapan.
Ia menjelaskan, ada sekitar 600 hingga 700 alamat khusus di internet alias Uniform Resource Locator (URL) berisi hoaks yang beredar setiap harinya, selama 22-24 Mei lalu. URL tersebut terdeteksi oleh mesin pengais konten Kominfo, yang disebut mesin AIS.
Saat itu, hoaks yang beredar dinilai menghasut dan berpotensi memecah belah bangsa. Karena itu, Kementerian Kominfo berkoordinasi dengan instansi terkait untuk meminimalkan penyebaran hoaks. Hingga akhirnya, Kementerian Kominfo membatasi akses media sosial dan aplikasi percakapan.
(Baca: Kominfo Pantau Sebaran Hoaks Jelang Sidang Sengketa Pilpres di MK)
Penyebaran hoaks pun berangsur turun hingga menjadi 100 URL saja saat ini. Selain itu, Rudiantara mencatat, tidak ada hoaks baru yang beredar saat ini. Hoaks yang beredar merupakan konten lama yang disebarkan kembali melalui media sosial.
Sebelumnya, Pelaksana Tugas (Plt) Kepala Biro Humas Kementerian Kominfo Ferdinandus Setu mengatakan, instansinya belum menyiapkan skenario guna mengantisipasi masifnya penyebaran hoaks pada sidang sengketa Pilpres 2019 di MK. “Apabila ada banyak konten yang (bersifat) menghasut atau memecah belah bangsa seperti kerusuhan 21-22 Mei lalu, maka kami lakukan lagi (pembatasan akses),” kata dia, pekan lalu (12/6).
Ferdinandus juga menegaskan, bahwa pembatasan akses media sosial itu merupakan pilihan terakhir. Opsi pembatasan akses akan dikaji terlebih dulu dengan instansi terkait, seperti Kementerian Politik Hukum dan HAM (Polhukam). Pengambilan keputusan tersebut juga akan mempertimbangkan temuan mesin AIS.
(Baca: Peneliti Siber: Pembatasan Media Sosial Efektif Cegah Penyebaran Hoaks)
Kalaupun opsi terakhir itu jadi diterapkan, hanya beberapa fitur di media sosial atau aplikasi percakapan yang bakal dibatasi. Rencananya, Kementerian Kominfo juga tidak akan melakukan sosialisasi atau pemberitahuan jika pembatasan akses itu jadi dilakukan.