Kenaikan Tarif Ojek Online Berpotensi Memangkas Pertumbuhan Ekonomi

ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja
Pengemudi ojek daring yang tergabung dalam Gabungan Aksi Roda Dua Indonesia atau Garda melakukan aksi di seberang Istana Merdeka, Jakarta, Selasa (27/3). Dalam aksinya mereka menuntut kebijakan rasionalisasi tarif ojek daring.
Penulis: Desy Setyowati
Editor: Pingit Aria
11/2/2019, 13.01 WIB

Kenaikan tarif ojek online diperkirakan berpotensi mengurangi Produk Domestik Bruto (PDB) hingga 0,3%. Proyeksi tersebut dengan asumsi tarif ojek online yang saat ini di kisaran Rp 2.200 per kilometer naik 42% menjadi Rp 3.100 per kilometer, seperti tuntutan driver.

Ekonom Universitas Indonesia (UI) Fithra Faisal menyatakan, ojek online kini tak hanya mengantar penumpang. Operasional ojek online kini juga banyak melayani pesan antar makanan, belanja di supermarket, hingga mengantar berbagai barang; dari milik personal hingga produk e-commerce.

Luasnya cakupan operasional ojek online itulah yang membuat bisnis ojek online berdampak terhadap 10 sektor usaha, dari restoran, pariwisata, hotel, hingga pakaian jadi. Sementara, setiap Rp 100 juta investasi yang dikeluarkan oleh 10 sektor ini menyerap tenaga kerja 15-20 orang.

"Maka, kenaikan tarif ojek online bisa berpengaruh 0,2-0,3% terhadap pertumbuhan ekonomi," kata Fithra di Hong Kong Cafe, Jakarta, Senin (11/2).

(Baca: Gojek Gandeng Garuda Indonesia untuk Perkuat Layanan Logistik)

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, sektor transportasi-komunikasi tumbuh dari 5,04% jadi 6,14% sepanjang 2018. Lalu, sektor restoran-hotel tumbuh dari 5,31% jadi 5,85% di 2018. Menurut dia, pertumbuhan di kedua sektor ini ditopang juga oleh kehadiran aplikator seperti Gojek dan Grab.

Sementara itu, Fithra memperkirakan, jumlah pengemudi ojek online di Indonesia mencapai lebih dari 2 juta. "Pendapatan mereka naik dua kali lipat setelah bergabung. Bayangkan kalau tarif naik dan pendapatan mereka turun," katanya. 

Sejalan dengan hal itu, ia memperkirakan bahwa jumlah pekerja sukarela (unpaid family worker) bisa meningkat dari saat ini 13% dari total pekerja. Padahal, jumlah ini saja sudah lebih tinggi ketimbang negara tetangga seperti Filipina 8,3%, Malaysia 4,4%, dan Singapura 0,8%.

Di samping itu, ia mencatat bahwa mayoritas pengguna ojek online adalah masyarakat berpendapatan menengah ke bawah. Ia khawatir, kenaikan tarif ojek online yang sangat tinggi akan berpengaruh terhadap pertumbuhan konsumsi rumah tangga.

(Baca: Layanan Pesan Antar Go-Food dan GrabFood Ubah Perilaku Konsumen)

Lalu, kenaikan tarif ojek online menurutnya akan mendorong masyarakat untuk menggunakan kendaraan pribadi. Sebab, selama ini ojek online digunakan sebagai sarana untuk ke transportasi umum seperti stasiun, halte bus, dan lainnya. "Studi BPS, potensi yang hilang bisa mencapai Rp 100 triliun (per tahun) karena kemacetan," ujarnya.

Ia memproyeksikan, masyarakat akan beralih ke kendaraan pribadi selama dua hingga tiga bulan.

Mantan Ketua Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Zumrotin K Susilo menambahkan, harga merupakan pertimbangan konsumen setelah keamanan, keselamatan, dan kenyamanan. "Menurut saya kenaikkan yang ideal adalah 20%, win-win solution untuk pengemudi dan konsumen," kata dia.

Sebelumnya, Kementerian Perhubungan berencana membuat regulasi terkait ojek online. Dalam pembahasannya, tarif batas bawah bagi ojek online akan ditetapkan antara Rp 2.000 - 2.500 per kilometer. Angka tersebut masih di bawah tarif taksi online yang batas bawahnya sebesar Rp 3.000 – 3.500 per kilometer. "Tapi ini masih dikaji," kata Direktur Jenderal Perhubungan Darat Budi Setiadi.

(Baca: Kemenhub Sebut Tarif Batas Bawah Ojek Online Rp 2.000 - 2.500 per Km)

Reporter: Desy Setyowati