Konsultan Sebut Tak Masalah Pusat Data Ada di Luar Negeri

ANTARA FOTO/REUTERS/Steve Marcus
Jordan Itakin berjalan melewati tampilan teknologi nirkabel broadband 5G di stan Intel saat CES 2018 di Las Vegas, Nevada, Amerika Serikat, Selasa (9/1).
Penulis: Desy Setyowati
Editor: Pingit Aria
8/2/2019, 18.14 WIB

Masalah pusat data menjadi polemik seiring rencana revisi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 82 Tahun 2012. Konsultan keamanan digital Palo Alto Networks Indonesia menyatakan bahwa sejatinya letak pusat data di dalam atau luar negeri tak terlalu berbeda.

Country Director Palo Alto Networks Indonesia Surung Sinamo menyatakan, letak pusat data bukan satu-satunya faktor penentu keamanan data. Sebab, keamanan data menurutnya adalah tanggung jawab dari penyedia jasa atau yang mengumpulkan data tersebut.

"Keamanan data dan konten itu tanggung jawab masing-masing tenant atau (penyedia) jasanya," kata dia di kantornya, Jakarta, Jumat (8/2).

Sedangkan letak pusat data terkait dengan infrastruktur komputasi awannya (cloud). Biasanya, penyedia layanan cloud menginvestasikan teknologi untuk keamanan data dan hal-hal yang bisa berpengaruh terhadap data. "Seharusnya aman. Karena (rerata) dari mereka investasi besar (di keamanan dan teknologi)," ujarnya.

(Baca: Pelaku Industri Telekomunikasi Minta Pusat Data Wajib Ada di Indonesia)

Hanya, beberapa asosiasi di bidang telekomunikasi khawatir, data pribadi masyarakat Indonesia akan dimanfaatkan oleh perusahaan asing jika pusat data terletak di luar negeri. Alasannya, Indonesia belum memiliki kebijakan yang bisa melindungi data pribadi masyarakatnya secara ketat seperti General Data Protection Regulation (GDPR) di Uni Eropa.

Akan tetapi, kembali lagi menurut Surung, bahwa keamanan data itu tergantung dari pihak yang mengumpulkan datanya. Di samping itu, menurut dia para pengumpul data perlu berinvestasi dalam hal teknologi seperti big data dan kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI). Sebab, teknologi seperti ini menurutnya bisa mengantisipasi datangnya serangan siber hingga jenis yang terbaru.

Apalagi saat ini, ia menemukan malware bisa masuk ke perangkat pengguna secara perlahan sahingga sulit terdeteksi. Alhasil, para peretas kian mudah mencuri data dari pengguna akhir (endpoint). "Investasi lah di teknologi yang skemanya otomatisasi dan bisa menerima inovasi secara cepat," ujarnya.

Adapun sektor yang menurutnya harus investasi besar di bidang teknologi keamanan siber adalah pemerintah. Misalnya, mendekati Pemilihan Umum (Pemilu) pada April 2019, maka Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) karena platform mereka rentan untuk diretas guna kepentingan politik.

(Baca: Disorot Ombudsman, Kominfo Jamin Data Strategis Tetap di Dalam Negeri)

Lalu, industri yang berhubungan dengan kepercayaan masyarakat seperti perbankan juga menurutnya perlu investasi besar di bidang teknologi keamanan siber. "Mereka (perbankan) itu leading. Nanti (sektor) yang lain akan ikut (investasi)," kata Surung.

Sebelumnya, Ketua Asosiasi Cloud Computing Indonesia (ACCI) Alex Budiyanto khawatir revisi PP 82 Tahun 2018 tentang penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik (PP PTSE) ini akan berimplikasi besar dari aspek politik, ekonomi, sosial dan budaya, pertahanan, dan keamanan (ipoleksosbudhankam). "Ini akan merugikan Indonesia karena data is the new oil," katanya.

Reporter: Desy Setyowati