Startup digital terus tumbuh di Indonesia. Namun, pertumbuhan itu tak diimbangi dengan Sumber Daya Manusia (SDM) yang mumpuni di bidang teknologi informasi. Binar Academy melihat celah itu sebagai potensi bisnis.
Binar Academy menyediakan berbagai program pendidikan terkait teknologi informasi, dari yang gratis hingga bernilai belasan juta rupiah per paketnya. "Sudah ada 12 ribu orang yang mendaftar," ujar Chief Business Development Officer Binar Academy Dheta Aisyah kepada Katadata, Kamis (27/12).
Berdiri sejak 2016, Binar Academy kini sudah hadir di lima kota, yakni Batam, Kupang, Ambon, Yogyakarta, Tangerang. Selain Dheta, pendirinya adalah Alamanda Shantika, mantan VP of Technology Gojek.
Alamanda yang pernah memimpin tim yang beranggota 130 teknisi dan Dheta yang sebelumnya juga bekerja di Gojek sadar betul bahwa talenta di bidang digital di Indonesia masih terbatas. Bahkan di Gojek yang sudah menyandang predikat unicorn, rekrutmen talenta digital bukan hal mudah.
"Meski lulusan Sarjana 1 (S1), Indeks Prestasi Kumulatif (IPK) bagus, tapi keahliannya belum sesuai standar industri digital," ujar dia.
(Baca: Beda dengan Gojek, Traveloka Tak Ingin Kembangkan SuperApp)
Minimnya talenta di bidang digital ini lantas memicu impor tenaga kerja. Berkaca dari kondisi ini, ia dan Alamanda memandang perlu ada perusahaan atau badan khusus untuk menciptakan lebih banyak talenta di bidang digital.
Binar Academy banyak bekerja sama dengan korporasi, Badan Usaha Milik Negara (BUMN), hingga startup untuk membiayai pendidikan para siswanya. Beberapa perusahaan yang sudah bekerja sama adalah CIMB Niaga, PT Telekomunikasi Indonesia Tbk (Telkom), PT Angkasa Pura, PT Visionet Internasional (OVO), dan PT Investree Radhika Jaya (Investree).
Perusahaan-perusahaan tersebut akan membayar hingga Rp 10 juta untuk setiap murid Binar Academy yang direkrut. Uang dari perusahaan-perusahaan besar itu kemudian digunakan untuk subsidi silang. "Itu untuk menutupi biaya pendidikan mereka (para siswa)," ujarnya. "Setiap satu orang yang direkrut oleh perusahaan itu bisa membiayai 13 siswa."
Hanya, ia mengakui bahwa dana dari perusahaan itu tak cukup untuk membiayai 12 ribu pendaftar program gratis di Binar Academy. Sebab, sejak 2016, lulusan Binar Academy berjumlah 400 orang, dan baru 150 orang di antaranya yang direkrut oleh perusahaan.
(Baca: Setelah Infrastruktur, Pemerintah Berfokus ke Pembangunan Manusia)
Untuk itu, Binar Academy membuat program berbayar yang disebut Binar Plus dan Binar Masterclass. Dengan begitu, masyarakat umum bisa mendapat pendidikan dan pelatihan seputar digital di Binar Academy tanpa melalui seleksi, dengan membayar Rp 10 juta. Lalu, ada program workshop Binar Masterclass yang juga dikenakan biaya hingga Rp 13 juta.
Dengan begitu, Binar Academy bisa beroperasi meski belum mendapat pendanaan. Sejauh ini, operasional dibiayai melalui program berbayar dan rekruitmen perusahaan.
Adapun Binar Academy menyediakan tiga jurusan, yakni software engineer, product designer, dan product manager. Jurusan product manager akan fokus pada analisa pasar, guna menentukan aplikasi yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Dengan begitu, layanan yang disediakan oleh perusahaan bisa diterima pasar.
Lalu, product designer fokus pada kepuasan dan pengalaman pengguna (User Interface-User Experience/UI-UX). Sedangkan software manager, pendidikan dan pelatihannya fokus membuat sistem. Sebab, divisi software manager bertugas memastikan sistem di aplikasi berjalan.
Saat ini, Binar Academy memiliki 70 mentor yang merupakan alumi dengan peringkat tiga besar di setiap pelatihan. Meski sudah memiliki mentor dan pembiayaan, operasi Binar Academy bukan tanpa masalah. "Teknologi digital itu cepat berubah. Di Binar, bahasa pemrograman yamg kami pakai tiga kali ganti selama setahun berdiri. Lalu, tenaga pengajar yang keahliannya memadai juga jarang," ujar Dheta.
Secara umum, ia menyebutkan ada empat poin yang menjadi pertimbangan Binat Academy dalam memberikan pelatihan. Pertama, industri digital butuh programmer yang tidak hanya pandai secara teknik tetapi juga memiliki pemikiran pengusaha. Kedua, keinginan kuat untuk berkolaborasi.
(Baca: Soal Talenta Digital, Indonesia Masih Kalah dari India)
Ketiga, bisa mengikuti perubahan teknologi secara lincah. Terakhir, memberikan hasil kerja yang maksimal bagi perusahaan. "Kalau agile, bisa berusaha secara berkualitas, apakah hasil yang didapat maksimal," kata dia. Hal ini lah yang harus dipastikan.
Sebelumnya, survei Asosiasi E- commerce Indonesia (idEA) menunjukan, startup nasional mengeluarkan biaya Rp 210 juta hingga Rp 1,1 miliar untuk merekrut talenta di tataran pimpinan atau chief level. Tingginya biaya rekruitmen itu terjadi lantaran minimnya SDM di bidang digital di Indonesia.
Ketua Umum idEA Ignatius Untung merinci, untuk mendapat talenta junior, startup biasanya membayar Rp 13,2- 29 juta. Lalu, biaya untuk mencari talenta dengan kualifikasi menengah biayanya sebesar Rp 25- 79 juta dan untuk senior sebesar Rp 66- 264 juta.
Biaya rekruitmen yang harus dibayarkan kepada head hunter itu belum termasuk gaji dan fasilitas lain untuk pekerjanya sendiri. "Karena ada ketimpangan antara suplai dan permintaan," ujar Ignatius beberapa waktu lalu (8/11).