Kalm, Startup untuk Sesi Curhat Lewat Aplikasi

Instagram/@get.kalm
Startup Kalm menawarkan layanan curhat lewat aplikasi.
Penulis: Desy Setyowati
Editor: Pingit Aria
27/10/2018, 08.00 WIB

Kemacetan hingga persoalan ekonomi bisa menjadi penyebab stres. Namun hanya sedikit orang yang menyadari pentingnya bercerita kepada psikolog mengenai persoalan hidupnya. Untuk itu, startup Kalm menghadirkan layanan curhat (mencurahkan hati) dengan psikolog lewat aplikasi.

Co-Founder & Chief Marketing Officer (CMO) Kalm Lukas Limanjaya menjamin konselor yang menjadi mitranya merupakan ahli di bidangnya. Sebab, Kalm melakukan verifikasi atas latar belakang pendidikan dan pekerjaan dari konselor yang bersangkutan. "Kami cek juga Sertifikat Izin Praktik Psikolog (SIPP) benar atau tidak," ujar dia kepada Katadata, Rabu (24/10).

Konselor yang disebut Kalmselor ini akan menyapa langsung pengguna, minimal dua kali sehari. Hanya, pengguna lebih dulu harus mengisi beberapa kuisioner guna menentukan almselor mana yang paling cocok untuk menangani persoalannya. Misalnya, pengguna yang mengeluhkan soal anak dengan yang menghadapi persoalan kerja akan ditangani oleh psikolog yang berbeda.

Selama sepekan, pengguna bisa berkonsultasi gratis dengan para ahli. Setelahnya, ada paket konsultasi mulai Rp 250 ribu per minggu yang bisa dibeli oleh pengguna. "Dari yang dibayarkan itu, mayoritas diberikan kepada Kalmselor," kata Lukas. Sisanya untuk operasional Kalm.

(Baca juga: Bocoran Google untuk Startup yang Ingin Jadi Unicorn)

Karena konsultasinya berbayar, pengguna juga bisa bertemu langsung dengan Kalmselor. Bahkan, pengguna bisa dirujuk ke klinik tempat Kalmselor praktik.  Hanya, hal itu tergantung perjanjian di antara keduanya.

Oleh karenanya, Kalm menginformasikan seputar perjanjian ini kepada pengguna di awal penggunaan. "Namun demi keamanan para Kalmselor kami mengimbau mereka untuk tidak langsung bertemu klien di luar klinik praktik mereka," kata dia.

Untuk mendukung konsultasi ini, Kalm menyediakan beberapa teknologi seperti fitur percakapan (chatting), mesin analisis, dan komputasi awan (cloud). Karena persoalan psikologi merupakan informasi yang bersifat pribadi. Untuk itu, Kalm menjamin keamanan data penggunanya. "Kami sudah lakukan penetration test supaya data ini tidak dibobol," ujar dia.

Lukas mengatakan, aplikasi Kalm sudah bisa diunduh di Google Play Store sejak dua pekan lalu. Hingga saat ini, aplikasi Kalm sudah diunduh 150 kali. Sementara untuk iOS atau Apps Store rencananya bakal diluncurkan pekan depan. Hingga akhir tahun ini, ia menargetkan jumlah pengguna naik menjadi 500. Lalu, jumlah konselor ditarget naik dari 20 saat ini menjadi 50.

Lukas mendirikan Kalm bersama dua temannya, yakni Karina Negara yang seorang psikolog dan Angela Widjaja. Ide awalnya, karena ia sendiri memiliki beberapa teman yang memiliki persoalan mental namun takut pergi ke psikolog.

"Saya dulu guru BP di sekolah swasta, orang tua murid banyak bermasalah juga. Tetapi mereka tidak tahu mau (cerita) ke mana. Saya suruh mereka ke psikolog, tapi malu," kata dia.

(Baca juga: Pemuda 24 Tahun Sukses Pimpin Startup Bernilai Rp 75 Triliun)

Selain Kalm, Riliv lebih dulu muncul menghadirkan layanan sejenis pada Agustus 2015. Dikutip dari Tempo, Pendiri Riliv Audrey Maximillian Herli mencatat, setiap 40 detik ada satu orang yang bunuh diri pada 2015. Kasus bunuh diri ini diperkirakan bertambah menjadi satu orang per 20 detik pada 2020.

Untuk itu, ia berpikir untuk merancang sebuah aplikasi yang memungkinkan seseorang mencurahkan masalahnya. Nah, aplikasi Riliv ini mirip dengan Kalm di mana pengguna bisa bercerita persoalan hidupnya kepada psikolog. Penggunanya, kini mencapai lebih dari 50 ribu orang.

Riliv menawarkan beberapa paket harga seperti paket perkenalan sebesar Rp 100 ribu per sesi konseling teks yang berlaku selama seminggu. Ada pula paket lega senilai Rp 350 ribu untuk empat kali sesi konseling teks selama sebulan. Paket nyaman Rp 640 ribu untuk delapan kali sesi selama dua bulan. Serta, paket bahagia seharga Rp 924 ribu untuk 12 kali konseling selama empat bulan.

Reporter: Desy Setyowati