DPR Kecewa Facebook Tak Serahkan Dokumen Kebocoran Sejuta Data

ANTARA FOTO/Dhemas Reviyanto
Kepala Kebijakan Publik Facebook Indonesia Ruben Hattari (kanan) dan Vice President and Public Policy Facebook Asia Pacific Simon Milner (kiri) mengikuti rapat dengar pendapat umum dengan Komisi I DPR , Jakarta, Selasa (17/4).
Penulis: Desy Setyowati
17/4/2018, 16.48 WIB

Komisi I Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) merasa kecewa dengan keterangan yang disampaikan petinggi Facebook Indonesia terkait kebocoran data sejuta pengguna layanan jejaring sosial tersebut. Beberapa dokumen yang diminta anggota Komisi yang membidangi komunikasi ini tak bisa dihadirkan dalam rapat dengar pendapat umum yang digelar siang tadi.

Anggota Komisi dari Fraksi Golkar, Meutya Viada Hafid, mengatakan sulit memberikan penilaian atas kasus yang menghebohkan jagad maya itu. Sebab, beberapa dokumen, seperti bukti nota kesepahaman atau memorandum of understanding (MoU) antara Facebook dan Cambridge Analytica, tidak bisa diakses Dewan. “Saya minta data itu diserahkan supaya kami tahu bagaimana mau melangkah untuk membahas pencurian data,” kata Meutya di Senayan, Jakarta, Selasa (17/4).

(Baca juga: Sejuta Data Bocor, Facebook Klaim Tetap Banyak Manfaat).

Seperti diketahui, Geger merembesnya data dalam perusahaan media sosial asal Amerika Serikat ini diungkap oleh Christopher Wylie, mantan kepala riset Cambridge Analytica, pada koran Inggris, The Guardian, Maret lalu. Menggunakan aplikasi survei kepribadian yang dikembangkan Global Science Research (GSR) milik peneliti Universitas Cambridge, Aleksandr Kogan, data pribadi puluhan juta pengguna Facebook berhasil dikumpulkan dengan kedok riset akademis.

Secara ilegal, data ini lalu dijual pada Cambridge Analytica yang kemudian digunakan untuk mendesain iklan politik untuk mempengaruhi emosi pemilih. Tak hanya itu, konsultan politik ini bahkan menyebarkan isu, kabar palsu dan hoaks untuk mempengaruhi pilihan politik warga. Total, ada 87 juta data pengguna Facebook yang bocor di seluruh dunia dan 1,1 juta di antaranya berasal dari Indonesia.

Selain Meutya, anggota lainnya dari fraksi PDI Perjuangan, Evita Nursanty, mengatakan pernyataan CEO Facebook Mark Elliot Zuckerberg di Kongres Amerika Serikat tidak menunjukan rasa bersalah. Seharusnya, Facebook memberi jaminan atas kebocoran data tersebut seperti siap menerima sanksi atau ganti rugi. “Bukan hanya meminta maaf saja,” kata Evita.

(Baca: Mengaku Salah, Mark Zuckerberg Bertahan sebagai CEO Facebook).

Atas pertanyaan tersebut, Vice President of Public Policy Facebook Asia Pacific Simon Milner mengatakan perusahannya memang tidak bekerja sama dengan Cambridge Analytica. Alhasil, tidak ada dokumen atau MoU apapun yang bisa disajikan. “Hubungan yang terbangun antara Dr Alesandr Kogan dan Cambridge Analytica,” ujar Simon.

Menurutnya, Dr Kogan tidak pernah menjadi karyawan Facebook. Dr Kogan adalah pembuat aplikasi 'thisisyourdigitalife' yang menggunakam fitur Facebook Login, sebagaimana aplikasi lainnya. Fitur tersebut memungkinkan pengembang aplikasi pihak ketiga meminta persetujuan dari pengguna Facebook agar mereka bisa mengakses kategori data tertentu yang dibagikan.

Sayangnya, Dr Kogan melanggar kebijakan Facebook karena membagikan data tersebut ke Cambridge Analytica. Simon menegaskan, Facebook tidak memberi izin atau menyetujui pemindahan data tersebut. Tindakan Dr Kogan, kata dia, adalah pelanggaran kebijakan Facebook. Setelah ada laporan dari media massa, Facebook menangguhkan akses aplikasi tersebut pada Desember 2015.

Saat itu, perusahaan Dr Kogan yakni Global Science Research Limited (GSR) dan entitas lainnya sudah dikonfirmasi bahwa mereka telah menyerahkan data yang terkumpul melalui aplikasi tersebut. Mereka juga sudah memberikan penjelasan dan segera menghapus semua data tersebut. Data yang diperoleh pun tidak bersifat sensitif seperti password atau informasi finansial.

Akan tetapi, media kembali menghubungi Facebook terkait benar tidaknya aplikasi Dr Kogan sudah menghapus data-data yang dikumpulkan pada Maret 2018. Lantas, Facebook melakukan penyelidikan. “Kami belum menemukan bukti bahwa mereka melanggar sertifikasi penghapusan,” kata Kepala Kebijakan Publik Facebook Indonesia Ruben Hattari. (Baca juga: Kebocoran Facebook, AMSI  Dorong Pemerintah Jamin Keamanan Data).

Belum ditemukannya bukti pelanggaran sertifikasi penghapusan itu karena Komisioner Informasi Inggris atau Information Commissioner's Office (ICO) meminta Facebook menunda audit dan pencarian fakta. Alasannya, ICO masih menyelidikinya. Facebook baru diizinkan melanjutkan penyelidikan terkait dugaan pelanggaran sertifikasi penghapusan --karena tidak dihapusnya data-- setelah ICO selesai.

Dengan demikian, ia menegaskan kembali bahwa pelanggaran ini murni kesalahan Dr Kogan. Menurut Ruben, kejadian ini adalah hasil dari pengkhianatan Dr Kogan. “Kalau dia tidak membagikan data, kasus ini tidak akan terjadi. Ini bukan sistem yang dibobol,” ujar dia. (Baca juga: Pemerintah Cermati Keamanan Data Nasabah Fintech dan E-Commerce).