Go-Jek telah mengantongi investasi dari konsorsium puluhan perusahaan dengan nilai hingga US$ 1,5 miliar, termasuk Google dan Astra. Lalu kapan unicorn karya anak bangsa itu akan menjadi perusahaan terbuka dengan Initial Public Offering (IPO)?
President dan Co-Founder Go-Jek Andre Soelistyo menyatakan keinginannya untuk menjadi perusahaan publik dalam dua tahun. Namun, rencana itu masih terhambat oleh regulasi pemerintah yang dinilai kaku.
Andre mengungkapkan, salah satu aturan IPO Indonesia yang menurut manajemen Go-Jek belum dapat dipenuhi misalnya harus sudah mencatatkan laba. Sementara di luar negeri, aturan IPO dinilainya lebih fleksibel sehingga mudah bagi start-up seperti Go-Jek menempuh listing.
“Kendalanya di Indonesia, perusahaan seperti kami masih muda, sejarah finansialnya masih dibangun,” ujarnya di Hotel Fairmont, Jakarta, Senin (12/2).
(Baca juga: Suntik Go-Jek Rp 16 Triliun, Google Pacu Ekonomi Digital Indonesia)
Dalam waktu dekat, kata dia, Go-Jek berencana menyampaikan aspirasinya terkait kebijakan yang bisa mempermudah perusahaan rintisan atau start-up melantai di BEI. "Semoga kalau dari regulator bisa sesuaikan, kami senang sekali," kata Andre.
Dengan menjadi perusahaan publik, maka porsi pendanaan para investor Go-Jek akan lebih mudah tertakar melalui saham. Namun, sementara Go-Jek belum IPO, Astra yang merupakan salah satu investor terbesarnya akan mendapat jatah kursi komisaris.
Sementara, Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara menyatakan bahwa secara umum, setiap regulasi memang harus mengakomodir segala perubahan yang ada. Toh, perkembangan yang ada menunjukan bahwa teknologi telah mengubah banyak sendi kehidupan. "Saya bicara dengan BEI, (agar) tukang ojek bisa jadi pemegang saham. Saya ingin dorong itu," kata dia.
Rudiantara ingin mencegah Go-Jek mencatatkan diri di bursa luar negeri. Apalagi, Temasek kini telah menjadi salah satu investor Go-Jek. "Kalau mereka listed di luar negeri dapat apa di Indonesia? Semua sistem regulasi di Indonesia harus diubah."
Adapun, sebelumnya Direktur Penilaian Perusahaan BEI Samsul Hidayat menyampaikan bahwa valuasi aset tak berwujud (intangible asset) masih menjadi masalah bagi start-up yang ingin melantai di bursa saham. Sebab, valuasi aset start-up berbeda dengan perusahaan konvensional. "Pola perusahaan konvensional bisa melakukan valuasi dengan aset yang tampak atau tangible asset," ujar dia.