Penghindaran pembayaran pajak yang dilakukan beberapa perusahaan raksasa digital (Over The Top/OTT), tidak hanya membuat gusar berbagai negara di dunia. Dua lembaga keuangan internasional, yaitu Bank Dunia dan Dana Moneter Internasional (International Monetary Fund/IMF), turut menyoroti dan membahas masalah ini dalam sidang tahunannya di Washington, Amerika Serikat, pekan lalu.
Menurut Menteri Keuangan Sri Mulyani, yang ikut meghadiri sidang tahunan tersebut, beberapa negara anggota Bank Dunia dan IMF mengeluhkan transaksi-transaksi yang sulit dipajaki dalam bentuk perdagangan elektronik atau e-commerce maupun OTT. Masalah ini juga menimpa Indonesia, dimana pemerintah tengah berupaya memajaki perusahaan digital seperti Google, Facebook, Twitter, dan Yahoo.
Bahkan, persoalan pajak tersebut tidak hanya menimpa negara-negara berkembang, melainkan juga negara maju seperti Amerika Serikat (AS). “Dalam pertemuan itu Menteri Keuangan Amerika juga (bilang) bermasalah dengan pajak Apple,” kata Sri Mulyani saat konferensi pers mengenai hasil pertemuan tahunan Bank Dunia-IMF 2016 di kantor Kementerian Keuangan, Jakarta, Rabu (12/10).
(Baca: Kejar Pajak Google, Pemerintah Perlu Tiru Inggris)
Jadi, penghindaran pajak oleh perusahaan digital tersebut telah menimpa banyak negara. “Bagaimana memajaki Google atau Amazon, itu topik yang juga dibahas atau sekarang dikenal sebagai persoalan penting bagi semua negara,” katanya.
Sri Mulyani menilai, setiap negara di dunia perlu berkomitmen membangun sistem perpajakan yang adil. Sebab, di satu sisi, suatu negara menerima setoran pajak dari perusahaan digital, namun negara berkembang malah kesulitan memungut pajaknya. Padahal, perusahaan digital itu turut menerima pendapatan dan keuntungan di negara berkembang tersebut.
“Ini langkah penting bagi semua negara agar komitmen ini memperkecil kesempatan mereka (perusahaan digital) menghindari pajak,” ujar Sri Mulyani.
Sekadar informasi, beberapa negara di dunia tengah mengejar pajak dari perusahaan raksasa digital. Antara lain di Inggris, Perancis dan Spanyol yang mengejar pajak Google dan Facebook. Di Indonesia, pemerintah tengah memburu pajak Google, Facebook, Twitter, dan Yahoo.
(Baca: Menkeu Siap Bawa Sengketa dengan Google ke Pengadilan Pajak)
Direktorat Jenderal Pajak telah mengirimkan surat pemeriksaan pajak kepada empat perusahaan itu. Namun, Google malah mengirim balik surat itu dan menyatakan menolak ditetapkan sebagai Badan Usaha Tetap (BUT). Padahal, perusahaan asing yang memiliki aktivitas di Indonesia hanya bisa dipajaki jika memiliki status BUT.
Merespons sikap Google itu, Sri Mulyani menyatakan akan mengajak perusahaan tersebut berdiskusi. Jika tak juga ada kesepakatan, maka pemerintah akan membawa sengketa dengan Google ke pengadilan pajak.
Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo menyarankan, pemerintah perlu mempersiapkan data-data akurat sebelum berunding dengan perusahaan-perusahaan OTT tersebut. Hal ini mengacu kepada kesuksesan Inggris yang memungut pajak hingga £ 4,16 juta atau setara Rp 67 miliar dari Facebook. Inggris memiliki dua keunggulan sehingga bisa menang dalam sengketa dengan Facebook, yaitu data yang akurat dan nomenklatur pajak baru yang disebut diverted profit tax.
(Baca: Pemerintah Akan Investigasi Pajak Google)
Prastowo menilai, Pemerintah Indonesia tidak akan bisa memaksa perusahaan OTT membayar pajak jika hanya menetapkan perusahaan itu sebagai BUT di Indonesia. "Saya rasa Google punya skema tax planning yang sama di seluruh dunia. Dia buat satu, diterapkan di seluruh dunia,” katanya, Selasa (11/10) lalu.
Jika negosiasi pemerintah dengan Google buntu, Prastowo menambahkan, pemerintah perlu mengeluarkan data pendapatan Google di Indonesia. Dengan data itu, Google tidak bisa menolak membayar pajak. Karena secara normatif, negara sumber pendapatan berhak memungut pajak dari perusahaan yang mendapat keuntungan di wilayahnya.