Daftar Startup Dunia yang Berhenti Beroperasi pada 2019

Ajeng Dinar Ulfiana | KATADATA
Pameran startup teknologi dan inovasi industri anak negeri di Hall B JCC, Jakarta, pada Kamis (3/10).
30/12/2019, 19.38 WIB

Banyak startup gagal melanjutkan bisnis karena beragam alasan. Sepanjang 2019, TechCrunch melansir daftar startup global berskala besar maupun kecil yang memutuskan untuk berhenti beroperasi.

Daftar tersebut memuat 14 startup independen, yang pendiriannya bukan atas inisiatif dari perusahaan yang lebih besar. Meskipun, salah satu startup dalam daftar tersebut diakuisisi perusahaan besar sebelum gulung tikar.

(Baca: Video: Disuntik Modal Besar, Bagaimana WeWork Bisa Jatuh?)

1. Anki (2010 - 2019)

Startup di bisnis robot dan artificial intelligence (AI) ini berhasil menghimpun dana sebesar US$ 182 juta atau sekitar Rp 2,5 triliun. Tiga tahun lalu, perusahaan berinvestasi besar untuk membuat robot kecil bernama Cozmo. Untuk menghasilkan emosi berbeda pada mata Cozmo, perusahaan merekrut mantan animator Pixar dan Dreamworks.

Pada akhir 2018, perusahaan meluncurkan robot Vector yang serupa dengan Cozmo namun diperuntukkan bagi kalangan dewasa. Pada April 2019, Anki memutuskan untuk berhenti beroperasi, meskipun telah menjual 1,5 juta robot dan ratusan ribu model robot Cozmo.

2. Chariot (2014 - 2019)

Startup di bidang angkutan massal berupa van ini berhasil menghimpun dana sebesar US$ 3 juta atau sekitar Rp 41,7 miliar. Ford mengakuisisi startup tersebut dua tahun lalu, namun kemudian menutupnya pada awal 2019. Perusahaan tidak memberikan penjelasan rinci mengenai alasan penutupan itu. Namun, perusahaan mengatakan bahwa keinginan serta kebutuhan pelanggan dan kota berubah dengan cepat.

(Baca: SoftBank Kesulitan Dapat Pinjaman untuk Selamatkan WeWork)

3. Daqri (2010 - 2019)

Startup di bidang augmented reality (AR) headset ini berhasil menghimpun dana sebesar US$ 132 juta atau sekitar Rp 1,8 triliun. Daqri menutup operasinya sekitar September lalu dan menyelesaikan penjualan aset.

Daqri adalah satu dari sekian banyak perusahaan di sektor ini yang gagal menggaet perusahaan sebagai pelanggan, serta bersaing dengan Magic Leap, Microsoft, dan lainnya.

4. HomeShare

Di tengah kenaikan harga properti, HomeShare menyediakan layanan untuk mempertemukan teman berbagi apartemen, dan memfasilitasi pembuatan “micro-rooms”. Startup properti ini telah menghimpun dana sebesar US$ 4,7 juta atau sekitar Rp 65,4 miliar.

Perusahaan mengatakan bahwa hingga Maret lalu, mereka memiliki sekitar 1.000 penduduk aktif. Sebagai bagian dari penutupan, HomeShare mengatakan penduduk tidak akan mendapatkan kembali deposit untuk partisi mereka, tapi mereka dapat menyimpan atau menjualnya.

(Baca: Modal Ventura Anggap Wajar Gojek Tutup Sebagian GoLife & Bukalapak PHK)

5. Jibo (2012 - 2018/19)

Startup di bidang robot ini telah menghimpun dana sebesar US$ 72,7 juta atau sekitar Rp 1 triliun. Jibo secara teknis mati pada akhir 2018. Namun, Techcruch memasukkannya dalam daftar lantaan menilai kematian Jibo dramatis.

Jibo harus berakhir meski sukses menghimpun dana. Perusahaan terpaksa memberhentikan hampir seluruh staffnya dan akhirnya mengirim Jibo untuk tinggal di robo-farm.

6. MoviePass (2011 - 2019)

Startup layanan tiket ini berhasil menghimpun dana sebesar US$ 68,7 juta atau sekitar Rp 957 miliar. MoviePass juga sempat diakuisisi oleh perusahaan analisis data Helios dan Matheson pada 2017.

Perusahaan tampak seperti menghadapi bencana baru setiap minggu lantaran mengalami 'pendarahan' keuangan, membatasi layanannya, mengalami pemadaman, hingga meminjam lebih banyak uang.

7. Munchery (2010 - 2019)

Startup pengiriman makanan ini berhasil menghimpun dana sebesar US$ 125 juta atau sekitar Rp 1,74 triliun. Perusahaan mengumumkan penutupan bisnis kepada pelanggannya melalui email. Setelah pengumuman itu, para vendornya menuduh Munchery mengambil keuntungan dari mereka di jam-jam terakhir, dengan tetap mengizinkan mereka melakukan pengiriman yang tidak dapat dibayar perusahaan.

8. Nomiku (2012 - 2019)

Startup perangkat masak ini telah menghimpun dana sebesar US$ 145 ribu atau sekitar Rp 2 miliar. Setelah beberapa kampanye Kickstarter yang sukses bernilai US$ 1,3 juta, dukungan dari Samsung Ventures, hingga perubahan ke bisnis perencanaan makan, startup ini tetap tidak bisa bertahan.

9. Osterhout Design Group/ODG (1999 - 2019)

Kabar penutupan startup pelopor di bisnis kaca mata AR ini mencuat pada minggu-minggu pertama bulan Januari. Beberapa tahun lalu, perusahaan mengumpulkan dana US$ 58 juta atau sekitar Rp 807 miliar, namun kurang dari setahun kemudian, perusahaan telah terbakar oleh pendanaannya sendiri dan tidak bisa membayar karyawannya.

Pada awal 2018, ODG telah kehilangan setengah dari karyawannya di tengah upaya perusahaan mencari pinjaman untuk membayar kembali karyawan. Pada awal 2019, hanya sedikit kru yang menunggu penjualan paten, setelah akuisisi oleh beberapa perusahaan teknologi besar, termasuk Facebook dan Magic Leap, gagal.

10. Omni (2014 - 2019)

Startup ini memulai bisnis sebagai perusahaan yang menyediakan tempat penyimpanan (storage) fisik. Namun, setelah menjual bisnis storage pada Mei, perusahaan berbisnis di bidang teknologi, dengan membangun platform yang memungkinkan pedagang retail untuk mengoperasikan sendiri bisnis penyewaan dan penjualan produk. Namun, bisnis ini tidak berhasil.

Perusahaan berhasil menghimpun dana US$ 35,3 juta atau sekitar Rp 491,2 miliar. Setelah penutupan perusahaan, sekitar 10 insinyurnya direkrut oleh Coinbase.  

11. Scaled Inference (2014 - 2019)

Startup di bidang machine learning dan AI ini berhasil menghimpun dana sebesar US$ 17,6 juta atau sekitar Rp 245,9 miliar. Pada 2014, perusahaan yang didirikan oleh mantan orang Google Olcan Sercinoglu dan Dmitry Lepikhin ini menjadi headlines. Ini lantaran rencananya membangun machine learning dan AI yang mirip dengan yang digunakan oleh internal perusahaan seperti Google, dan menjadikannya sebagai layanan cloud yang tersedia untuk semua orang.

Ambisi itu menarik banyak investor termasuk Felicis Ventures, Tencent, dan Khosla Ventures. Sayangnya, perusahaan akhirnya harus tutup karena kurangnya dana imbas kurangnya jumlah pengguna (traction).

12. Sinemia (2015 - 2019)

Startup layanan tiket ini berhasil mengumpulkan dana sebesar US$ 1,9 juta atau sekitar Rp 26,4 miliar. Sinemia menghadapi keluhan pelanggan, bahkan tuntutan hukum terkait beberapa isu dalam aplikasinya, biaya tersembunyi, dan kebijakan penutupan akun. April lalu, perusahaan mengumumkan bahwa mereka mengakhiri operasinya di Amerika Serikat.

Perusahaan tidak mengatakan tutup sepenuhnya. Banyak staffnya berbasis di Turki. Tapi, situs perusahaan telah offline sejak pengumuman itu.

13. Unicorn Scooters (2018 - 2019)

Startup yang menyediakan layanan skuter listrik ini berhasil menghimpun dana sebesar US$ 150 ribu atau sekitar Rp 2,1 miliar. Perusahaan menghabiskan terlalu banyak uang untuk iklan di Facebook dan Google. Startup ini dengan cepat ditutup tanpa uang yang tersisa, bahkan untuk meminta pengembalian uang atas lebih dari 300 skuter berharga US$ 699 per unit yang telah dipesan.

14. Vreal (2015 - 2019)

Vreal merupakan platform game streaming yang memungkinkan pengguna VR menjelajahi dunia di mana live streamers bermain. Pengguna bisa berjalan di sekitar streamers sebagai avatar, atau sebagai pengamat pasif sambil mendengarkan live streamers bermain.

Startup ini berhasil menghimpun dana sebesar US$ 15 juta atau sekitar Rp 208,7 miliar. Namun, perusahaan berakhir tutup. Dalam keterangan resminya, perusahaan menyatakan penyebab penutupan adalah pasar VR yang belum berkembang secepat yang diharapkan.