Berkaca dari WeWork, Startup Harus Bisa Jaga Keberlangsungan Bisnis

instagram/@wework
Ilustrasi, WeWork. Kasus WeWork bisa menjadi pelajaran bagi para pendiri startup. Para pendiri perusahaan rintisan harus bisa menjaga keberlangsungan bisnisnya.
15/11/2019, 08.42 WIB

Kasus WeWork yang gencar 'bakar uang' membuat investornya, Softbank, mengalami kerugian. Hal tersebut menjadi pelajaran bagi para pendiri startup untuk bisa menjaga keberlangsungan (sustainability) bisnis.

Head of Business Development Astra Digital Suwandi mengatakan startup lokal harus memiliki model bisnis yang jelas untuk menghidari kasus WeWork. Startup juga harus bisa mendapatkan profit sehingga bisnisnya dapat berjalan dalam jangka waktu panjang. 

"At the end of the day itu profit," ujar Suwandi di sela-sela acara NextICorn di Jimbaran, Bali, Kamis (14/11).

Ia mengatakan startup yang mampu bertahan lama bisa diukur dari animo pelanggan. Hal tersebut dapat dilihat dari pertumbuhan pelanggan ketika promo dihapuskan oleh perusahaan. 

Idealnya, promosi berlangsung sekitar tiga bulan. Setelah jangka waktu tersebut, jumlah pelanggan harusnya terus meningkat. "Kalau masih ada (perkembangan) berarti startup tersebut sudah bisa suistanable," ujarnya. 

Suwandi menjelaskan, promosi dengan 'bakar uang' merupakan hal yang wajar bagi startup baru. Promosi dilakukan untuk memperkenalkan produk atau layanan terbaru perusahaan.

Selama fase itu terjadi, menurutnya, tantangan bagi startup adalah membuat pelanggan mendapatkan nilai dari produk yang ditawarkan. "Jadi mereka bakal terus menggunakannya meskipun insentif sudah tidak ada. Mereka tetap menggunakannya karena mereka mendapatkan nilainya," ujarnya.  

(Baca: Tren Startup Merambah Pasar Syariah )

Ditemui di kesempatan yang sama,  Co-Founder dan CEO Kata.ai Irzan Raditya mengatakan startup harus bisa memiliki jalur menuju profitabilitas yang berjangka panjang untuk menghindari kerugian seperti WeWork.

"Saya rasa, selama jalur itu benar maka investor juga yakin bahwa hal seperti itu tidak terjadi di sini," ujar Irzan.

Ia melanjutkan, kejadian yang menimpa WeWork bukan karena bisnis modelnya yang salah melainkan karena manajemen yang buruk dan ada beberapa kasus yang menimpa perusahaan tersebut.

Sebelumnya, Ketua Umum Yayasan NextICorn Daniel Tumiwa mengatakan bahwa model bisnis dengan startegi 'bakar uang' tidak akan berhasil untuk menggaet pertumbuhan pelanggan dalam skala yang besar dan jangka waktu yang panjang. "Jadi perlu ada model bisnis baru untuk menopang," ujar Daniel di Jimbaran, Bali, kemarin (13/11).

Bahkan menurutnya, sektor fintech mau tidak mau melakukan 'bakar uang' agar masyarakat mau menggunakan layanannya. "Tapi pada kasus WeWork kan mereka melakukan extra bargent sehingga tidak ada kendali dari founder-nya," ujarnya. Ia melanjutkan, Softbank sangat percaya pada founder WeWork Adam Neumann yang dapat menggandakan dananya hingga 10 kali lipat.

(Baca: OVO Tanggapi Kabar Bakal Ditinggal Lippo Group)

Softbank mencatatkan kerugian untuk pertama kalinya dalam 14 tahun pada akhir September 2019. Reuters mencatat perusahaan asal Jepang tersebut merugi US$ 6,5 miliar atau setara Rp 91 triliun (kurs Rp 14.000 per dolar) secara kuartalan karena berinvestasi di startup transportasi dan WeWork.

WeWork pun batal melantai di bursa saham. Sebab, valuasi WeWork disebut-sebut turun dari US$ 47 miliar menjadi US$ 10 miliar. SoftBank diperkirakan bakal rugi jika valuasi WeWork turun hingga ke level US$ 10 miliar.

Analis menilai kondisi yang terjadi pada WeWork bisa menjadi sinyal berakhirnya era perusahaan rintisan rugi yang gencar ‘bakar uang’.

“Kami cukup yakin ada sekitar US$ 10 miliar hingga US$ 11 miliar telah mereka (SoftBank) investasikan (di WeWork),” kata Analis Riset Ekuitas Teknologi di Jefferies, Atul Goyal dikutip dari Fortune, Jumat (11/10).

Ahli Strategi Ekuitas di Morgan Stanley Michael Wilson mengatakan, kegagalan WeWork bisa menjadi sinyal berakhirnya ‘hari-hari modal tanpa batas untuk bisnis yang belum untung’.

Hal itu ia sampaikan dalam nota tertanggal 29 September 2019 yang diberikan kepada kliennya. Ia pun mengingatkan beberapa kasus yang menimpa korporasi lain dalam 20 tahun terakhir.

Setidaknya ada tiga kasus yang ia contohkan. Pertama, kegagalan buyout (pembelian terutang) United Airlines pada Oktober 1989. Kedua, peleburan AOL dan Time Warner pada 2000 yang mengindikasikan segera berakhirnya gelembung era bisnis dot-com. Terakhir, pengambilalihan bank investasi Bear Stearns oleh JP Morgan pada 2008.

(Baca: Mantan Menteri Kominfo Optimistis Ada 3 Unicorn Baru pada 2020)

Reporter: Cindy Mutia Annur