Riset: Pemerintah Bisa Hemat Rp 1 Triliun karena Aplikasi Kesehatan

ANTARA FOTO/ Fakhri Hermansyah/rwa.
Petugas kesehatan mengukur suhu tubuh guru sebelum mendapatkan vaksin COVID-19 di Puskesmas Jatiasih, Bekasi, Jawa Barat, Kamis (8/4/2021).
14/4/2021, 16.36 WIB

Riset dari perusahaan konsultasi manajemen global Kearney memperkirakan, pemerintah bisa menghemat Rp 1 triliun per bulan jika menggunakan aplikasi kesehatan seperti Halodoc, Alodokter, dan Good Doctor. Namun, startup di sektor ini di Indonesia rerata masih menyasar konsumen individu.

Riset Kearney bertajuk ‘are Indonesia’s digital health apps fit enough to disrupt the market?’ menyebutkan empat model bisnis di Tanah Air yakni business to costumer (B2C), business to business (B2B), freemium, serta sponsor subscription dan freemium.

Pakar Praktik Perawatan Kesehatan di Kearney Sanath Kumar Subramanyam mengatakan, keempat segmen pasar itu potensial. "Namun, sebagian besar aplikasi kesehatan di Indonesia hanya berfokus pada model B2C," kata dia dalam siaran pers, Rabu (14/4).

Sedangkan model B2C dinilai tidak akan berkelanjutan dan menguntungkan. Sanath menilai, startup kesehatan perlu mengubah model bisnis untuk tumbuh dan berkembang saat pandemi corona.

"Mereka perlu merancang produk dan layanan yang disesuaikan guna memenuhi kebutuhan pelanggan,” ujar Sanath.

Salah satu caranya yakni menerapkan model B2B atau menyasar segmen korporasi, tetapi yang didukung oleh pemerintah. Segmen yang bisa disasar yakni masyarakat kurang mampu dan menjadi tanggungan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial atau BPJS Kesehatan.

Dengan menyasar segmen tersebut, startup dapat memberikan solusi inovatif untuk program perawatan kesehatan yang berkelanjutan. Berdasarkan riset, solusi ini berpotensi memotong belanja bulanan pemerintah Rp 1 triliun untuk perawatan kesehatan dasar BPJS 10-20%.

Startup kesehatan dan pemerintah dapat berkolaborasi dalam memanfaatkan kapabilitas teknologi guna meningkatkan efisiensi operasional BPJS. Dengan begitu, defisit pemerintah dari rasio kerugian medis bisa teratasi sedikit.

Pasar lain yang bisa disasar yakni masyarakat berpendapatan menengah ke atas. Kearney mencatat, rata-rata dari mereka merupakan pasien berpenyakit kronis, lanjut usia (lansia), dan sadar akan kesehatan.

Selain itu, startup bisa menyasar perusahaan yang rutin mensponsori biaya kesehatan karyawan. Caranya, dengan memberikan transparansi dalam pencatatan dan penggantian biaya karyawan, serta menawarkan pilihan perawatan kesehatan.

Meski begitu, secara keseluruhan, Kearney mencatat bahwa penggunaan layanan kesehatan digital akan tetap meningkat meski pandemi usai. Sebanyak 20,3% dari 1.000 konsumen di Indonesia setuju bahwa aplikasi memudahkan mereka.

Lalu, 18,9% menggunakan aplikasi kesehatan karena biayanya murah. Sebanyak 18,8% karena kualitas diagnosis kesehatan. Alasannya lainnya yakni terhubung dengan dokter tepercaya (15,4%), konsultasi spesialisasi (12,4%), dan karena dinilai penting (8%).

Studi Kearney juga membandingkan kinerja antara berbagai aplikasi kesehatan yang ada di Indonesia seperti Alodokter, Halodoc dan Good Doctor. Perbandingan itu menggunakan skala kepuasan pelanggan antara 1 sampai 5. 

Ketiga aplikasi itu mendapatkan skor minimal empat atau lebih, dalam hal kemudahan penggunaan. Namun, masih terdapat kesenjangan yang cukup tinggi dalam empat faktor utama yaitu biaya, kualitas diagnosis kesehatan, dokter yang dapat dipercaya, dan konsultasi spesialisasi. 

Reporter: Fahmi Ahmad Burhan