SoftBank Ventures Asia memimpin pendanaan seri B US$ 28 juta kepada startup social commerce, Super. Investor dari kalangan modal ventura menilai, sektor ini potesia. Gojek pun merambah bisnis ini lewat GoStore.

Investor terdahulu yang berpartisipasi dalam putaran pendanaan kepada Super yakni Amasia, Insignia Ventures Partners, Y-Combinator Continuity Fund, dan co-chairman Bain Capital Stephen Pagliuca. Selain itu, partner dari DST Global dan TNB Aura.

TechCrunch melaporkan, pendanaan tersebut membuat valuasi Super lebih dari US$ 36 juta. Super mengatakan, itu investasi terbesar yang dikumpulkan sejauh ini.

Berdasarkan laporan McKinsey, social commerce adalah platform yang memfasilitasi jual-beli produk melalui media sosial. Sedangkan e-commerce memfasilitasi transaksi, termasuk pembayaran dan pengiriman.

Super beroperasi di 17 kota di Jawa Timur. Perusahaan memiliki jaringan ribuan agen atau reseller, dan ratusan ribu pembeli akhir.

Co-founder sekaligus CEO Steven Wongsoredjo mengatakan, ada perbedaan harga produk di kota tingkat (tier) dua dan tiga sekitar 10%-20%. Selisih di Jawa Timur bahkan hampir 200%.

Perbedaan itu karena dua alasan. Pertama, biaya rantai pasok yang mahal karena kendala infrastruktur. Kedua, hal itu membuat produsen FMCG kesulitan mengangkut barang ke perdesaan, sehingga pasokan tidak mencukupi.

Super berfokus menurunkan biaya barang lewat social commerce dan rantai logistik. “Tujuan akhir Super yakni membangun Walmart Group Indonesia tanpa memiliki toko ritel dan memanfaatkan aspek social commerce untuk membangun model yang berkelanjutan,” kata Steven dikutip dari TechCrunch, Kamis (29/4).

Startup tersebut mengikuti cara Pinduoduo yang berfokus di kota-kota kecil. Perusahaan pun akan menggunakan dana segar yang diperoleh untuk memperluas pasar ke provinsi lain di Indonesia tahun ini.

“Kami percaya dengan tidak adanya Jabodetabek dalam DNA, kami dapat membangun produk social commerce yang unik dengan sentuhan hiperlokal untuk melayani masyarakat perdesaan,” ujar dia. "Kami ingin mengejar sisa 90% dari pasar yang kurang ditembus."

Selain itu, memperluas kategori produk di luar FMCG dan mengembangkan SuperEats yang baru saja diluncurkan.

Super mengoperasikan gudang pusat, bersama dengan hub yang lebih kecil dan dekat dengan pembeli. Sebagian besar produk Super dipasok oleh merek FMCG regional.

Pesanan dalam jumlah besar itu dikirim ke agen, yang kemudian melakukan pengiriman jarak jauh ke pembeli. Ini menekan harga dengan membuat rantai pasokan lebih efisien dan memungkinkan pengiriman dalam 24 jam, tanpa bergantung pada penyedia logistik pihak ketiga.

“Kami terkesan dengan pengetahuan dan komitmen yang mendalam dari tim Super untuk wilayah Indonesia yang kurang terlayani. Kami percaya bahwa tim yang benar-benar lokal seperti mereka akan dilengkapi dengan baik untuk menavigasi dan membangun platform di pasar hiperlokal ini,” kata mitra SoftBank Ventures Asia Cindy Jin.

Super bersaing dengan KitaBeli, ChiliBeli dan Woobiz. Dalam laporan McKinsey berjudul ‘The Digital Archipelago: How Online Commerce is Driving Indonesia’s Economic Development’ pada 2018, penjualan di e-commerce diprediksi tumbuh delapan kali lipat menjadi US$ 40 miliar pada 2022.

Sedangkan penjualan di social commerce diramal US$ 25 miliar. Proyeksi ini belum menghitung dampak pandemi virus corona.

Facebook dan Bain and Company memperkirakan nilai transaksi belanja online di Indonesia hampir US$ 72 miliar atau sekitar Rp 1.047,6 triliun pada 2025. Angka ini melonjak dibandingkan proyeksi awal US$ 48 miliar, karena pandemi.

Managing Partner di AC Ventures Adrian Li pun menyampaikan bahwa pertumbuhan e-commerce khususnya yang berfokus pada kebutuhan sehari-hari tergolong besar, terutama di kota tier dua dan tiga. “Model team-buying yang ditawarkan oleh KitaBeli memanfaatkan media sosial untuk menciptakan pengalaman pengguna yang menyenangkan dan sticky,” kata dia, dikutip dari siaran pers, Agustus tahun lalu (25/8/2020).

Pengalaman itu dapat mendorong pembelian barang kebutuhan pokok harian dengan frekuensi tinggi. “Mereka ada di posisi terbaik untuk membangun cerita teknologi konsumen selanjutnya di Indonesia,” ujar Li.

Meski potensinya besar, CEO Mandiri Capital Eddi Danusaputro menilai bahwa social commerce lebih berfungsi sebagai pemasaran awal. Sedangkan e-commerce memberikan layanan hulu ke hilir, mulai dari pembuatan toko, pembayaran hingga pengiriman.

Reporter: Fahmi Ahmad Burhan