Startup social commerce Grupin mengumumkan pendanaan bernilai US$ 3 juta atau Rp 42 miliar yang dipimpin Sequoia India melalui program akselerasi startup di Asia Tenggara dan India bernama Surge. Pendanaan diberikan kepada Grupin seiring dengan pesatnya pertumbuhan bisnis social commerce di Indonesia.
Selain Sequoia, investor lain seperti Skystar Capital dan East Ventures terlibat dalam pendanaan tersebut.
Co-founder Grupin Kevin Sandjaja mengatakan perusahaan akan memanfaatkan pendanaan baru itu untuk memperkuat tim dan memperluas jaringan kerja sama dengan produsen. "Kerja sama kami tingkatkan baik di dalam maupun di luar Indonesia," ujar Kevin dalam siaran pers, Senin (7/2).
Grupin merupakan startup social commerce yang didirikan di Indonesia oleh Kevin dan rekannya Ricky Christie pada 2021. Kevin pernah menjabat sebagai CEO Pegipegi, sedangkan Ricky mempunyai pengalaman delapan tahun membangun sistem informasi berskala besar.
Grupin menawarkan pengalaman belanja interaktif berbasis komunitas atau pembelian secara kolektif kepada konsumennya. Melalui platform, sekelompok orang dapat menggabungkan pembelian mereka untuk mendapatkan harga yang kompetitif.
Konsumen juga mendapatkan akses ke berbagai penawaran yang disesuaikan berdasarkan lokasi, perilaku penelusuran, preferensi pembelian, dan daya beli.
"Kami menawarkan pengalaman belanja yang menarik bagi pelanggan di Indonesia, karena memiliki keterkaitan dengan nilai-nilai gotong royong, yaitu bekerja sama untuk mencapai suatu tujuan bersama," kata Kevin.
Ia mengatakan, Grupin tidak hanya menguntungkan bagi konsumen, tapi juga bagi produsen barang, Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM), serta petani. Sebab, mereka bisa menjangkau konsumen baru lewat platform.
Hingga saat ini, Grupin telah berhasil menjual ratusan Stock Keeping Unit (SKU) mulai dari makanan kemasan, produk segar, produk bayi, peralatan dapur, hingga elektronik.
Ia mengatakan, pendanaan baru dari Sequoia hingga East Ventures membuktikan bahwa model bisnis social commerce memiliki kemampuan dan fleksibilitas dalam menjual banyak kategori produk yang berbeda.
Bisnis social commerce juga mempunyai potensi besar. Dalam laporan McKinsey berjudul ‘The Digital Archipelago: How Online Commerce is Driving Indonesia’s Economic Development’ pada 2018, penjualan di e-commerce diprediksi tumbuh delapan kali lipat menjadi US$ 40 miliar pada 2022.
Sedangkan penjualan di social commerce diramal US$ 25 miliar. Proyeksi ini belum menghitung dampak pandemi virus corona.
Selain Grupin, tahun lalu sejumlah startup social commerce telah mendapatkan pendanaan dari investor. KitaBeli misalnya telah mendapatkan pendanaan seri A senilai US$ 10 juta dari Go-Ventures, East Ventures, dan sejumlah investor lainnya. SoftBank Ventures Asia juga mendanai startup social commerce, Super pada tahun lalu.
Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Nailul Huda pun memperkirakan, perkembangan belanja online mengarah kepada social commerce. Apalagi, beberapa platform seperti Facebook, Instagram, dan WhatsApp mengkaji penggunaan dompet digital.
Ditambah pemerintah belum mengatur social commerce. “Jadi lebih mudah untuk bertransaksi melalui media sosial. Apalagi tidak memungut biaya layanan seperti e-commerce,” kata Nailul kepada Katadata.co.id, pada 2020.
Namun, kelemahan bertransaksi di media sosial yakni keamanannya tidak terjamin. Ini karena pembayarannya tidak ditampung dalam rekening bersama, seperti di e-commerce. “Lebih banyak potensi fraud. Tetapi, ke depan saya yakin platform social commerce akan memperbaiki hal ini,” ujar dia.