Co-Founder sekaligus President Social Bella (Sociolla) Christopher Madiam mengungkapkan ada faktor penting selain keterampilan dalam memilih rekan untuk membangun startup. Elemen yang dimaksud yakni kesamaan visi dan misi.
“Itu penting. Pasti ada founder yang tertarik pada ‘jalur cepat’, ada juga yang ‘jalur panjang’,” kata Chris dalam program serial podcast Impacttalk yang dirilis oleh Impactto belum lama ini.
Para pendiri Sociolla -dia, John Rasjid, dan Chrisanti Indiana- menganut ‘longterm ticker’. “Kami percaya sekali bahwa sustainability itu penting,” ujarnya.
Kenyamanan dan kesamaan visi misi antara pendiri startup sangatlah penting. Hal ini juga yang membuat Sociolla dapat beroperasi sejak 2015 hingga berekspansi dan mempunyai 35 gerai omnichannel di Indonesia dan sembilan di Vietnam, juga memiliki 24 gudang multifungsi di Tanah Air.
Sociolla juga berhasil mengumpulkan US$ 58 juta dalam putaran pendanaan Seri E pada 2020. Dana segar ini diperoleh dari sejumlah investor, termasuk Temasek, Jungle Ventures, dan Pavilion Capital. Lalu ada tambahan US$ 57 juta dari L Catterton dan investor lainnya tahun lalu.
Perusahaan rintisan ini telah menggaet lebih dari 150 brand. Tahun lalu, transaksi Sociolla tumbuh hampir dua kali lipat. Sedangkan jumlah pengguna telah berbiak lebih dari dua kali lipat.
[Perbincangan lengkap program Impacttalk tersebut bisa dilihat pada link berikut ini]
Kesamaan visi juga membantu mereka dalam menetapkan strategi agar startup bisa bertahan dan bertumbuh, termasuk pivot. Dalam istilah perusahaan rintisan, pivoting atau pivot adalah melakukan perubahan strategi untuk mengarahkan bisnis ke situasi yang menguntungkan atau diinginkan.
Secara umum, menurutnya tidak ada rumus pasti dalam memilih rekan untuk membangun startup. Jika melihat pada keberhasilan sejumlah raksasa teknologi dunia, ada yang membangun bisnis dengan dua orang pendiri seperti Google dan Microsoft.
Ada juga yang membangun perusahaan sendirian seperti Amazon. “Tidak ada rumus pasti. Kalau bagi saya, how you can comfortable with someone you will work with for tens of year is the key for perfect founder. Ini lebih penting daripada skill,” katanya.
Kemampuan bisa diperoleh dengan cara belajar. Sedangkan chemistry tidak dapat dibuat. “Jadi, harus cocok dulu. Visi dan misi sama. Jangan yang satu mau membuat A, yang lainnya B,” kata Chris.
Dalam menjalankan bisnis, mereka bertiga pun tak jarang berbagi tugas. Hal ini membuat mereka bisa saling belajar.
Ia membangun Sociolla bersama John dan Chrisanti pada 2015. John menjabat sebagai CEO dan Chrisanti CMO.
“Saat itu golden year bagi e-commerce. Lazada mendominasi pasar. Ada juga Tokopedia, Bukalapak, Blibli, dan sebagainya. Kami melihat peluang,” ujar Chris.
Kini, Sociolla memperbesar ekosistem. Startup kecantikan ini bertransformasi menjadi ekosistem lengkap dengan tambahan empat pilar bisnis lainnya, yaitu:
- Super App kecantikan SoCo
- Media kecantikan dan gaya hidup dengan menghadirkan layanan end-to-end O2O marketing Beauty Journal
- Brand Development dengan layanan distributor produk kecantikan dan perawatan diri dari hulu ke hilir
- Lilla, ekosistem lengkap bagi ibu dan anak
Sociolla pun memperkenalkan model bisnis baru yang disebut SHEcosystem. Menurutnya, ini akan menciptakan peluang bagi perusahaan untuk ekspansi multi-dimensional.
Perusahaan rintisan itu bakal gencar ekspansi gerai omnichannel. Tahun lalu, pertumbuhan toko startup ini 10 kali lipat dibandingkan 2019.
Startup kecantikan itu memiliki 24 gudang multifungsi yang tersebar di Indonesia. Ini dapat melayani lebih dari 55 ribu titik penjualan untuk bisnis Brand Development. Sociolla juga berencana memperluas jaringan di luar negeri, setelah tahun lalu ekspansi ke Vietnam.
Sociolla juga menempati urutan ke-11 sebagai platform e-commerce yang paling banyak dikunjungi tahun lalu, meski hanya berfokus pada produk kecantikan. Rinciannya sebagai berikut:
Dengan langkah itu, Sociolla ingin meraup potensi pasar ekonomi perempuan atau sheconomy, termasuk kecantikan, yang diprediksi US$ 59 miliar atau Rp 847 triliun. Pertumbuhan majemuk tahunan (CAGR) sektor ini 9,4%," kata Christopher dalam konferensi pers virtual, pada Maret (29/3).
Untuk mencapai target tersebut, menurutnya perlu membangun tim yang solid. “Saat membangun bisnis, kunci sukses adalah sustainable people is number one. Tim menjadi inti,” ujar dia.
Ketimbang mencari kandidat yang terbaik, pendiri Sociolla berfokus merekrut calon pegawai yang sesuai dengan budaya perusahaan. “Bayangkan, sebagai grup, tidak punya budaya yang sama. Akan susah,” katanya.
Oleh karena itu, Sociolla mengadakan tes psikologi dalam perekrutan pekerja. Selain itu, berfokus memberikan nilai tambah supaya karyawan betah dan berfokus meningkatkan kinerja.
“Kami selalu percaya work smart. Sedangkan startup identik dengan kerja romusha. Kami selalu melakukan kerja efisien,” kata dia.
Menurut dia, para pendiri startup tidak hanya berfokus pada produk dan tujuan, tetapi juga prioritas. Selain itu, memahami hal-hal yang tidak akan berubah ke depan seperti alasan perusahaan membuat gerai offline.
“Apakah itu benar-benar akan dibutuhkan konsumen hingga lima atau 10 tahun. Misalnya, di Amazon dan Alibaba,” ujar Chris.